Terjemahan Terbaru
Surat Terbuka kepada Presiden Indonesia
Berjuang Untuk Indonesia Baru
Counterpunch
Edisi Akhir Minggu 31 Okt - 2 Nov 2014
(Judul asli: 'Fight for New Indonesia - Open letter to President of Indonesia ’)
BERJUANG UNTUK INDONESIA BARU
Surat untuk Presiden Indonesia
Ditulis oleh: Andre Vltchek
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira
Anda baru saja dilantik beberapa hari lalu, Bapak Presiden, dan rakyat, setidaknya sebagian besar rakyat di negara Anda sekarang berharap, bahkan menuntut adanya perubahan atau transformasi bangsa sesegera mungkin. Dalam pikiran mereka, karena sekarang Anda sudah menjadi Presiden Indonesia, maka kehidupan mereka akan segera membaik, ketakutan mereka akan berkurang, dan penderitaan mereka akan hilang/berakhir.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade ini, kita lihat harapan di mata banyak orang miskin di Indonesia. Mereka percaya pada Anda, Bapak Presiden. Mereka merasakan optimisme. Bahkan sekarang sebagian dari mereka berani bermimpi lagi.
Harapan... Saya pernah diberitahu oleh seorang penulis dan cendekiawan/pemikir terkenal di Amerika Selatan, Eduardo Galeano bahwa "Seringkali harapan adalah satu-satunya yang dipunyai oleh orang miskin. Kalau kita berikan mereka harapan, dan kemudian mengambilnya kembali, hal itu lebih buruk daripada membunuh mereka."
Ketika itu pemerintahan sosialis mulai muncul di seluruh Amerika Selatan – mulai dari Venezuela sampai ke Chile, dari Argentina ke Bolivia. Pesan Galeano kepada mereka: "Kamerad, hati-hati! Tepati janjimu. Jangan bermain-main dengan harapan rakyatmu!"
Para pemimpin Amerika Selatan mendengar pesan ini, dan mereka menang. Mereka membuat harapan menjadi kenyataan. Mereka menyingsingkan lengan baju dan mulai bekerja atas nama rakyatnya. Mereka lupakan semua kebanggaan semu dan mereka belajar bagaimana melayani rakyatnya, bagaimana menjadikan rakyat sebagai prioritas, bagaimana membela mereka yang sampai saat itu diterlantarkan dan tak berdaya.
Bapak Presiden, sebuah negara atau negeri bisa dibilang hebat jika mempunyai satu tujuan tunggal saja, yaitu: menyejahterakan kehidupan rakyatnya, dan menyejahterakan kehidupan rakyat di seluruh dunia.
*
Di masa lalu saya sangat kritis terhadap Anda. Saya tidak percaya dan terus terang saja, saya masih tidak percaya bahwa di Indonesia seseorang bisa dipilih secara spontan, tanpa proses pra-seleksi oleh kaum 'elit' - sekelompok kolaborator yang korup dan yang sebenarnya menjadi masalah utama yang dihadapi negara ini.
Semua partai politik dan media massa yang besar dimiliki oleh kaum elit, dan tentu saja untuk kepentingan mereka sendiri.
Tapi sekarang saya merasa bahwa saya harus menghormati harapan rakyat yang percaya pada transformasi hebat dan cepat.
Saya tidak punya hak untuk mengatakan kepada rakyat bahwa harapan mereka sia-sia. Saya tidak akan mengatakan itu, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. Setelah saya menulis surat ini, saya tidak akan mengungkapkan pendapat saya tentang 'demokrasi' Indonesia, setidaknya untuk waktu yang cukup lama.
Saya pastikan bahwa saya akan memberikan Anda waktu untuk bernapas dan bekerja, serta berharap bahwa orang lain juga akan melakukan hal yang sama.
Jauh di dalam lubuk hati ini saya berharap dengan tulus bahwa ketidakpercayaan saya pada politik Indonesia akan terbukti, setidaknya sebagian, salah atau berlebihan. Saya ingin percaya bahwa pendukung Anda benar, dan bahwa satu orang seperti Anda benar-benar bisa mengalahkan sistem yang sangat brutal dan korup, dan Anda bisa bertahan, dan kemudian secara dramatis memperbaiki negara Anda ini.
Saya tahu bahwa tangan Anda bersih, tidak berlumuran darah. Anda adalah salah satu dari sedikit orang yang bersih. Saya tahu bahwa Anda tahu seberapa dalam rasa sakit yang diderita oleh rakyat Anda. Saya tahu bahwa Anda peduli kepada mereka. Untuk saat ini, hal itu sudah cukup bagi saya.
Saya tidak setuju dengan beberapa pendapat dan kebijakan Anda. Meskipun demikian, dengan surat terbuka ini, saya mendukung Anda, Bapak Presiden.
*
Saya menawarkan dukungan saya, jika Anda memerlukannya.
Saya menawarkan bantuan saya, selama Anda bersedia untuk berdiri tegak dan membela mereka yang tidak berdaya, dan untuk memperjuangkan mereka yang melarat – yang merupakan sebagian besar dari bangsa Anda.
Saya akan berada di pihak Anda selama Anda tidak mengkhianati kepercayaann rakyat.
Perkenankan saya untuk mengatakan sekali lagi: saya ingin pendapat saya terbukti salah. Saya ingin analisis saya sebelumnya tidak benar. Menurut saya, saya tidak salah, tapi saya ingin pendapat saya itu salah.
Saya memohon kepada Anda: Tetap tegar, Bapak Presiden! Dan berjuanglah untuk bangsa Anda yang sudah penuh luka dan terlalu banyak ditipu.
Jangan dengarkan orang-orang asing yang berkata manis tapi penuh tipu daya. Pujian mereka tidak berarti, tanpa belas kasih, dan hanya untuk kepentingan mereka saja. Mereka telah merampok Indonesia selama beberapa dekade. Mereka telah menghancurkan hidupnya hampir 50 tahun yang lalu, dan sekarang mereka mengatakan padanya betapa cantik, bebas, toleran dan demokratis. Jangan dengarkan dan jangan percayai mereka. Indonesia masih dirantai, dibelenggu, dan kesakitan. Dia masih bingung dan marah karena kesakitan yang diterima dan ditimpakan padanya. Dia sangat tidak toleran karena putra-putri terbaiknya telah dibunuh, dipenjarakan, dan dibungkam.
Apa yang dilakukan oleh orang asing itu seperti kalau kita berkunjung ke seorang pasien yang sakit parah, yang sudah hampir botak, yang warna kulitya sudah berubah, yang sudah hampir buta, dan kemudian berkata padanya "Wah, kamu terlihat cantik sekali, amat menawan, dan menggairahkan!"
Untuk berbohong, tidak peduli, dan mengabaikan rasa sakit yang dirasakan oleh perempuan bernama Indonesia itu bukanlah manifestasi dari kasih sayang, Bapak Presiden. Wujud kasih sayang malah melakukan hal yang sebaliknya: segera memanggil ambulans, dan membopongnya ke rumah sakit. Tindakan kasih sayang adalah memaksa semua orang di rumah sakit untuk memperjuangkan hidupnya, baik itu dokter, perawat, dan staf teknis. Tindakan kasih sayang adalah untuk mendampinginya ketika dia sekarat dan ketika tampaknya hampir tidak ada harapan lagi. Tindakan kasih sayang adalah untuk tidak pernah menyerah dan berjuang untuknya, untuk perempuan yang bernama Indonesia. Jika diperlukan, berjuang bersamanya di malam-malam dan hari-hari yang panjang, berjuang dengan segenap kekuatan kita agar dia selamat dan hidup.
Cinta tidak pernah didasarkan pada kebohongan, Bapak Presiden, dan tidak pernah karena tipu daya. Cinta ada karena kebenaran dan kasih sayang, karena simpati, dan tekad untuk mengerti.
Sudah saatnya untuk mencintai Indonesia dengan cinta yang berbeda, cinta yang jujur, bukan dengan kata-kata palsu: “Kamu terlihat pucat, penuh bekas luka, pembuluh darahmu masih terbuka dan lukamu masih basah dan belum sembuh. Tubuhmu kotor dan penuh nanah. Kamu terlihat mengerikan sekali. Tapi kamu tidak akan diterlantarkan karena kamu dicintai. Kamu akan diperjuangkan. Kamu dicintai bukan karena semangat nasionalisme yang semu dan konyol; kamu dicintai terutama karena kamu merupakan ratusan juta nyawa manusia. Kamu tidak boleh dibiarkan jatuh karena kalau kamu jatuh, maka semua orang itu akan jatuh bersamamu.”
Tetapi untuk menyelamatkan Indonesia, harus segera diambil tindakan karena kerusakannya sudah terlalu besar. Harus segera dilakukan operasi atau serangkaian operasi. Parasit-parasit yang membahayakan harus segera dikeluarkan dari tubuhnya. Mereka yang sudah meracuninya selama bertahun-tahun harus segera diusir. Musuh sejati harus didefinisikan dan ditantang.
Anda hadir di waktu yang genting. Anda terpilih untuk memimpin perjuangan ini, atau setidaknya itulah yang dipercayai oleh puluhan juta pengikut Anda, dan banyak dari mereka yang miskin.
Tidak peduli bagaimana Anda sampai pada posisi Anda sekarang, Bapak Presiden, namun sekarang Anda ada di sini dan menjadi pusat perhatian. Tapi hal ini tidak cukup: sekarang Anda harus memimpin. Anda berkewajiban untuk memimpin. Anda tidak punya hak untuk bermanuver dan bermain 'dua arah'. Anda adalah Presiden Indonesia ketiga yang punya hati dan pantas untuk membawa raksasa ini ke masa depan yang lebih baik. Yang pertama adalah Ahmed Sukarno. Yang kedua adalah teman saya 'Gus Dur', Abdurrahman Wahid.
Beberapa waktu lalu saya menulis bahwa Anda memasuki Jakarta sebagai gubernur dengan 'menunggang kuda kayu'. Banyak hal yang sudah berubah: kali ini Anda diberi kuda yang besar dan gagah, serta di tangan Anda ada senjata yang amat hebat dan keris terbaik yang tajam dan bersinar. Anda terlihat hebat di atas pelana dan rakyat mengelu-elukan Anda. Tidak ada waktu lagi untuk melihat ke masa lalu. Anda harus bergerak maju dan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan negara Anda.
*
Pernahkah Anda memperhatikan kesedihan di mata rakyat Anda, Bapak Presiden?
Pernahkah Anda melihat raut kelelahan, tak berdaya, dan merasa direndahkan di wajah mereka yang tinggal di desa-desa dan kota-kota? Ekspresi orang-orang yang hanya punya kekhawatiran tetapi tidak punya masa depan yang cerah, yang tidak dapat mengandalkan fasilitas publik apapun, yang harus membeli dan membayar segala sesuatu mulai yang kecil sampai yang besar, karena negara tidak menyediakannya untuk mereka.
Pernahkah Anda melihat pulau-pulau yang dulunya menakjubkan tapi sekarang berubah menjadi mengerikan - Sumatera, Bangka, Kalimantan – habis dijarah/ditebang, tertutup bahan kimia beracun berwarna hitam, dengan hampir tidak ada lagi yang alami, dengan hilangnya seluruh spesies yang dulu hidup di sana, dengan orang-orang yang sekarat karena sakit kanker dan lari berobat menyeberangi perbatasan ke Malaysia. Pernahkah, Bapak Presiden? Tanah air ini adalah milik Anda dan rakyat Anda. Media-media korporasi bisa saja menyembunyikannya, propaganda Barat mungkin juga menyembunyikannya, tapi semua hal di atas adalah benar adanya. Saya dapat menunjukkannya dengan ribuan foto yang sudah saya kumpulkan, juga dengan ratusan jam rekaman film: dari Timor Barat ke Aceh, dari Pontianak ke Sungai Musi, dari Sumba ke Batam.
Apakah Anda pernah mengunjungi daerah kumuh perkotaan, Bapak Presiden? Apakah Anda pernah mengunjungi desa-desa? Sebenarnya saya tahu kalau Anda pernah lakukan itu. Saya harap Anda akan mengatakan hal sebenarnya yang telah Anda lihat, dan tidak meniru dengan mengatakan kebohongan yang disampaikan oleh pendahulu Anda, yang menyatakan bahwa hanya sekitar 18% rakyat Indonesia yang benar-benar miskin, sementara jelas bisa kita lihat bahkan dengan mata kepala sendiri bahwa sebagian besar rakyat di negara Anda hidup dalam kesengsaraan. Dan bahkan mereka yang kaya raya, bahkan mereka yang sudah korup dan merampok negara ini dengan istana-istana dan mobil-mobil Eropa mereka yang ‘kitsch’, standar hidupnya masih di bawah standar terendah dari negara-negara seperti Korea, Jepang, atau bahkan Afrika Selatan - mereka masih menghirup udara yang buruk, minum air beracun, dan dikelilingi kota-kota yang sudah tercemar dan hampir tidak punya budaya.
Apakah Anda akhirnya akan mengakui berapa jumlah penduduk di negara Anda, Bapak Presiden? Kita sama-sama tahu bahwa jumlah penduduk negara Anda bukannya 238 juta, bahkan bukan pula 245 juta, tapi sudah lebih dari 300 juta. Ketika saya menulis buku "Indonesia - Archipelago of Fear" (Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara), saya bertemu dan berdiskusi dengan beberapa ahli statistik internasional papan atas yang mengklaim bahwa pemerintah Indonesia (seperti juga pemerintah Pakistan) menyembunyikan jumlah penduduk yang sebenarnya, yang sudah melebihi 300 juta orang. Mengapa? Karena ‘un-people’ yang tidak dihitung ini tidak perlu diberi fasilitas apapun, bahkan layanan yang paling dasar sekalipun. Mereka tidak akan merusak ilusi bahwa Indonesia adalah 'negara yang sedang berkembang, membaik dan kembali menjadi bangsa yang normal', seperti kata-kata yang digunakan oleh dari beberapa akademik di ANU (Australia National University).
Pernahkah Anda memperhatikan bahwa Indonesia sudah hancur, Bapak Presiden? Bahwa dari berbagai indikator, Indonesia sekarang ada pada tingkatan yang sama dengan bangsa-bangsa dari Afrika Timur dan Afrika Barat, jauh di bawah sebagian besar negara-negara di Asia Pasifik? Saya pernah tinggal dan bekerja selama bertahun-tahun di Afrika dan Asia, dan saya dapat bersaksi bahwa analisis tersebut memang benar.
Jalan, pelabuhan, bandara, rel kereta api, dan telekomunikasi / internet - semuanya dalam keadaan buruk, Bapak Presiden. Puluhan juta rakyat Indonesia tidak punya sambungan listrik, sementara sebagian besar rakyat hidup tanpa akses terhadap sanitasi dasar. Kualitas air di sini lebih buruk daripada di India, bahkan dibandingkan dengan di Bangladesh. Semua kota di Indonesia sudah tidak bisa disebut kota lagi karena tidak bisa memberikan apa yang seharusnya diberikan oleh pusat-pusat perkotaan di seluruh dunia: budaya kosmopolitan, transportasi umum yang modern, efisien dan murah, trotoar yang lebar, fasilitas umum yang hebat termasuk taman, perpustakaan umum yang tak terhitung jumlahnya, dan arsitektur elegan yang dibangun untuk melayani rakyat. Pada beberapa kesempatan, Jakarta telah dipilih sebagai kota terburuk di Asia Pasifik, tapi berbagai jajak pendapat tersebut jelas tidak memasukkan beberapa kota buruk lain seperti Surabaya, Denpasar dan Medan.
Apakah pernah terpikirkan oleh Anda bahwa negara terpadat keempat di bumi ini tidak punya satu pun pemikir/cendekiawan atau seniman besar yang dikenal di seluruh dunia? Tidak ada satu pun, Bapak Presiden, tidak ada lagi sejak mantan tahanan politik dan kawan dekat saya Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia. Dan dia meninggal masih dengan perasaan marah dan sakit hati karena muak dengan kondisi Indonesia, negara tercintanya, sekarang ini. "Orang Indonesia tidak punya budaya", demikian dia menyatakan dalam buku "Exile" (Saya Terbakar Amarah Sendirian!), yang merupakan perbincangannya dengan saya: "Sekarang mereka hanya punya budaya mencuri... mereka tidak menciptakan, mereka tidak menghasilkan/memproduksi... Seluruh pulau Jawa hanya menjadi pasar. Sangat memalukan!"
Kemana para ilmuwan, penulis, dan filsuf besar Indonesia? Mengapa tidak ada satu pun dari mereka berdiri kokoh di tengah-tengah negara dengan penduduk lebih dari 300 juta jiwa? China punya satu pasukan ilmuwan, filsuf, seniman dan penulis, begitu pula negara-negara seperti India, Brazil, Afrika Selatan, bahkan negara miskin seperti Nigeria! Setiap negara berkembang yang besar mengandalkan sejumlah besar tokoh luar biasa yang menjadikan negara mereka berbeda, yang membawa bangsanya menjadi bangsa yang maju; tokoh-tokoh yang memikirkan kesejahteraan rakyat mereka. Jadi mengapa Indonesia tidak ada tokoh-tokoh seperti itu?
Bapak Presiden, jelas dan kentara sekali bahwa ada sesuatu yang benar-benar salah.
Anda tentu sadar bahwa ketika sakit, orang-orang Indonesia yang punya uang langsung segera pergi menyeberang ke Malaysia atau Singapura untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih murah dan yang jauh lebih baik. Orang-orang yang mampu pergi ke luar negeri untuk berbelanja, karena di negara Indonesia yang jauh lebih miskin ini anehnya harga-harga berbagai barang, mulai dari bahan pakaian sampai makanan, jauh lebih tinggi dibandingkan harga-harga di negara-negara tetangganya - Malaysia dan Singapura. Orang Indonesia juga pergi ke luar negeri untuk belajar dan untuk mendidik anak-anak mereka.
Hal ini tentu menciptakan paradoks besar. Apakah anak-anak dan remaja dapat benar-benar belajar bagaimana menyelamatkan negeri mereka dengan melalui proses indoktrinasi di Eropa dan di Amerika Serikat, negara-negara yang telah menjarah dan menghancurkan negara kepulauan ini selama berdekade-dekade dan berabad-abad? Atau apakah anak-anak muda ini akan kembali ke Indonesia, setelah dikondisikan untuk melayani majikan-majikan neokolonialis, sementara dalam prosesnya mereka berusaha mengambil apapun yang dapat mereka peroleh dari kaum mayoritas yang miskin dan sangat tidak berpendidikan? Dan bahkan para dosen-dosen Indonesia yang mengajar di universitas-universitas paling bergengsi di Indonesia - mereka pun telah diprogram dengan dogma-dogma neokolonialis dan neoliberal, dan dengan persepsi konyol tentang keunggulan konsep-konsep (seperti misalnya demokrasi ala Barat) dan budaya Barat.
Korupsi di Indonesia yang amat dahsyat dan tidak punya belas kasihan kepada kaum mayoritas yang miskin berakar di jaman penjajahan. Dulu dan sekarang, yang disebut 'aristokrasi' dan 'elit' lokal melayani kepentingan para penjajah yang merupakan majikan mereka. Pada dasarnya, mereka bekerja sama dengan penjajah, melakukan pengkhianatan, sementara mengisi saku-saku mereka sendiri, kemudian pundi-pundi dan rekening bank mereka, semua dengan persetujuan dari Belanda. Akar dari korupsi selalu datang dari kolonialisme. Tidak ada yang berubah. Para kolaborator-kolaborator Indonesia sekarang ini yang merusak negara, menjarah sumber daya alam, semua atas nama korporasi multi-nasional asing dan rezim global Barat.
‘Perekonomian terbesar di Asia Tenggara’, demikian tulisan media massa Barat. Tentu saja, dengan penduduk yang berjumlah 300 juta orang, perekonomian negara ini terbesar di Asia Tenggara, tapi seberapa rendah jika dihitung per kapita? Apa yang diproduksi oleh negara ini, Bapak Presiden? Negara ini baru bisa merakit mobil dengan model lama yang sudah ditinggalkan/dibuang di luar negeri, dan beberapa produk elektronik serta pakaian jadi. Apa lagi? Perekonomian Indonesia benar-benar tidak kompetitif, dan hanya didasarkan pada penjarahan mutlak sumber daya alam dan harga komoditas global yang tinggi, yang tentu tidak wajar. Apa yang akan dimakan oleh penduduk Indonesia setelah tidak ada lagi yang dapat ditebang dan diambil sumber daya alamnya? Apa yang akan dilakukan oleh Jawa setelah tidak bisa lagi hidup dari minyak, hutan dan tambang di Aceh, Papua dan Kalimantan?
Tampaknya tak seorang pun yang melakukan pemikiran-pemikiran terlebih dahulu. Tentu tidak ada rencana lima tahun yang sosialis (pro-rakyat) seperti di China, tidak ada 'perencanaan terpusat', seperti perencanaan-perencanaan yang benar-benar ada agar negara-negara dapat berkembang dan maju, dan pasti bukan perencanaan yang memberikan ruang kepada kaum elit untuk mencuri/merampok dari bangsanya. Di Indonesia, prinsip ekonominya: 'ambil semua yang Anda bisa, sementara Anda bisa'. Negara ini adalah negara paling kapitalis yang paling pernah saya lihat di dunia ini, dan dalam jangka panjang, akan menjadi negara dengan kegagalan ekonomi dan sosial yang mutlak.
Bapak Presiden, mereka yang mencuri dari bangsa Indonesia bersembunyi di balik propaganda Barat yang dibuat untuk mempertahankan rezim yang sama di seluruh dunia. Tentu saja, pihak Barat mendukung sistem yang ada di Indonesia. Jelas sekali mengapa: karena mereka melayani kepentingan korporasi-korporasi di Eropa, Amerika Serikat dan Australia, sementara sebagian besar rakyat Indonesia tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari sistem tersebut, dan pada waktu yang bersamaan, kekayaan bangsa ini menguap dengan kecepatan tinggi.
Sekarang ini banyak terdengar slogan-slogan nasionalis. Teriakan-teriakan mereka penuh dengan 'cinta'. "Damn, I love Indonesia!”, begitu tertulis di poster yang tergantung dari balkon sebuah mal di kota Surabaya.
Nasionalisme murahan sedang naik daun. Apa yang benar-benar dicintai oleh para kaum nasionalis? Apakah mereka mengasihi daerah-daerah kumuh yang tersebar dimana-mana dan kualitas hidup yang amat buruk? Atau apakah mereka menyukai kenyataan bahwa hampir semua sumber daya alam sudah habis, dan bahwa kota-kota sudah hancur karena banyak korupsi dan tidak adanya perencanaan kota; bahwa di banyak desa anak-anak berlarian tanpa alas kaki dan terlihat kurang gizi? Atau apakah mereka mencintai kenyataan bahwa Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara-negara lain di Asia Tenggara, dan oleh karenanya sekarang mereka bisa berbuat semaunya untuk kepentingan mereka sendiri; mereka dapat memperkosanya jauh dari mata yang ngin tahu dan marah?
Bapak Presiden, rendahnya kualitas media massa di Indonesia, yang semuanya dimiliki oleh kepentingan bisnis, adalah salah satu alasan mengapa hampir semua warga negara Indonesia terisolasi secara mutlak dan tidak dihadapkan pada keragaman pendapat. Seolah-olah konsep-konsep dari Cina, Venezuela, Kuba, Rusia, Afrika Selatan, dan Vietnam tidak ada. Seolah-olah, baru-baru ini, seluruh Amerika Latin tidak memenangkan revolusi besar dengan damai, berbalik dari neo-koloni Barat menjadi negara-negara yang punya harga diri dan dengan cepat ingin membangun masyarakat dan negara yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu untuk melayani rakyatnya.
Media di Indonesia tidak mendidik. Hampir tidak ada fasilitas yang publik di negeri ini, tidak terkecuali media. Media ada untuk 'menghibur', untuk mencuci otak, dan untuk menjaga tingkat intelektual ada pada tingkat yang paling rendah.
Kebudayaan dan seni – yang merupakan alat paling kuat dalam pembangunan masyarakat baru dan lebih baik di negara-negara seperti Amerika Latin atau China - di Indonesia, tidak mampu dan tidak bersedia untuk berdiri kokoh secara intelektual untuk memimpin dan menginspirasi bangsa ini. Sebaliknya, mereka memuntahkan sampah pop yang murahan dan tak terhitung jumlahnya, mulai dari film-film horor sampai lagu-lagu pop yang diproduksi massal. Kentara sekali siapa yang diuntungkan dari rakyat Indonesia yang dilobotimasi. Jelas, jika seni dan budaya dapat mendidik warga untuk berpikir, maka mereka tidak akan mentolerir rezim yang brutal dan gagal tersebut.
Bapak Presiden, penduduk Indonesia terus-menerus diberitahu bahwa mereka hidup dalam demokrasi. Bahwa bukti dari adanya demokrasi adalah banyaknya partai politik, dan banyaknya pernyataan tentang hal ini. "Pengusaha ini atau politisi itu dari Amerika Serikat, Australia atau Eropa mengatakan demikian..." Tentu saja mereka berkata begitu, berulang kali, karena bagi mereka, Indonesia adalah negara yang sempurna, yang, melalui para elitnya yang korup sudah mencuri dari dirinya sendiri, dan bukannya memberi makan anak-anak mereka yang kurang gizi, mereka malah mendukung dan memberi makan majikan-majikan kolonial dan neo-kolonialnya yang sudah kaya raya!
Tapi apa sebetulnya yang disebut demokrasi, Bapak Presiden? Definisi demokrasi, diterjemahkan dari bahasa Yunani, adalah 'kekuasaan ada di tangan rakyat’. Definisi itu tidak menyebutkan adanya 'sistem politik ala Barat dengan banyak partai'.
Apakah rakyat Indonesia benar-benar berkuasa di tanah air mereka sendiri?
Tidak, Bapak Presiden, dan mereka pun tidak berpikir demikian. Saya bertanya langsung kepada mereka di Dataran Tinggi Dieng dan di Alor, di Aceh dan Bali, di daerah-daerah kumuh di Jakarta, Medan dan Surabaya, di Kupang, Ende, Pontianak, dan di desa-desa terpencil di Sungai Musi.
Rakyat tidak berkuasa di Indonesia, dan mereka tahu bahwa mereka tidak berkuasa di negerinya sendiri, dan bahkan tidak mengharapkan untuk berkuasa. Tetapi mereka percaya bahwa mereka hidup dalam negara yang benar-benar 'demokratis' karena mereka diberitahu seperti itu, meskipun mereka belum pernah mencoba mencari tahu apa arti 'demokrasi' sebenarnya dan bagaimana demokrasi berjalan. Dan karena media massa dan sistem pendidikan ada terutama hanya untuk menjaga agar mereka tidak tahu, maka mayoritas dari mereka tidak tahu bahwa ada dunia lain yang lebih layak, dan bahwa ada banyak sistem pemerintahan yang baru dan lebih baik, seperti misalnya: Venezuela, Kuba, China, Afrika Selatan, Chile, Brasil, bahkan Malaysia.
Ketika berkelana ke berbagai bagian negeri Anda, saya terus menerus bertanya kepada penduduk Indonesia apakah suara rakyat dalam pemilihan umum dapat membuat perbedaan dalam kehidupan mereka, sebagian besar orang menjawab dengan tegas: "tidak". Kaum perempuan mengatakan bagaimana para suami atau ayah mereka menyuruh siapa yang harus dipilih. Penduduk desa memberitahu saya tentang praktek pembelian suara, suatu praktek yang umum dilakukan oleh semua partai politik besar maupun kecil. Orang-orang menjadi cukup sinis: mereka tahu bahwa seluruh 'sandiwara demokrasi' ini tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka. Para politisi tidak bersaing dengan mengemukakan program-program dan ide-ide bagaimana membuat masyarakat yang lebih baik dan meningkatkan taraf kehidupan warganya. Mereka hanya mencari stempel untuk melegitimasi apa yang sudah diputuskan oleh kaum elit di ruang-ruang tertutup di Jakarta.
Bagi Imperium (Empire), bagi pihak Barat, hal ini tentu saja jenis terbaik dari 'demokrasi' karena sistem ini sepenuhnya dikendalikan oleh pejabat dan elit lokal yang korup, yang pada gilirannya tunduk pada tujuan ekonomi dan geopolitik dari Washington, London atau Canberra. Pepe Escobar baru-baru ini menulis: "Sebagaimana ditekankan oleh pakar ekonomi terkenal Theotonio dos Santos, dekadensi Barat masih memaksakan pengaruhnya yang besar atas Global Selatan melalui jaringan para kolaboratornya yang luas."
Jaringan kolaborator yang luas... Jaringan butik-butik pakaian siap pakai yang overprized di pusat-pusat perbelanjaan yang dibangun sama di berbagai tempat, mobil-mobil mewah Eropa dengan model bukan yang terbaru yang dijual dengan harga tiga kali lipat dari harganya di Amerika Serikat, rumah-rumah seluas istana bergaya kue pengantin Disneyland yang menyedihkan, pesawat-pesawat jet berbadan lebar yang menerbangkan keluarga-keluarga berduit dari Jakarta dan Surabaya ke Singapura dan Hong Kong dimana mereka punya kondominium yang dibangun dari keringat dan darah rakyat Indonesia - semua ini hanya melayani kepentingan kelompok kolaborator modern. Dan sebenarnya para kolaborator ini merasa tidak aman, gelisah, sombong, dan siap untuk melakukan kejahatan apapun untuk bisa mempertahankan 'hak-hak istimewa' mereka dan memegang kendali atas kaum mayoritas yang tidak berdaya dan amat miskin di negara ini.
Orang-orang seperti ini akan ditembak mati di China atau menjalani hukuman penjara yang lama di Chile atau Brasil. Tapi di Indonesia, mereka malah dikagumi dan diberikan senyuman yang lebar.
Semua ini keliru, Bapak Presiden; amat, amat keliru!
Selama para perampok dan pencuri itu dihormati, tidak mungkin akan ada perubahan positif, dan korupsi tidak akan mungkin hilang.
Dengan keadaan seperti ini, semua diputar-balikkan dan diselewengkan: logika dan moral, bahkan hal-hal seperti budaya dan nilai-nilai keluarga.
Masa lalu Indonesia juga diselewengkan dan diputar-balikkan, Bapak Presiden. Dan kita semua tahu bahwa tanpa melihat sejarah bangsa dan dengan berani dan tekad bulat menyelesaikan masalah di masa lalu, maka negara manapun tidak akan punya masa depan yang layak. Masa lalu yang mengerikan walaupun tersembunyi tidak akan pernah pergi dan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan akan datang kembali dan menghantui bangsa yang melakukannya dan yang kemudian tidak menyesal telah berbuat itu dan tidak mengirim orang-orang yang bertanggung jawab untuk diadili.
Bapak Presiden, tidak ada 'kudeta Komunis’ pada tahun 1965, tidak ada ‘kudeta PKI'. Sekarang, ini adalah fakta yang dikeahui oleh orang-orang di seluruh dunia. Siapapun yang ingin mencari kebenarannya dapat dengan mudah menemukannya online, dari file-file yang sudah di-deklasifikasi dari Departemen Luar Negeri AS dan CIA. Kudeta tersebut dilakukan terhadap Presiden Sukarno yang berpikiran progresif dan juga terhaap kekuatan intelektual-progresif di Indonesia, termasuk PKI, guru, dan seniman - pada dasarnya kudeta terhadap semua pemikir. Kudeta itu dilakukan oleh angkatan bersenjata Indonesia yang telah melakukan makar dan berpihak pada negara-negara imperialis Barat. Kader-kader agama juga ikut membantai - pesta pora teror, pemerkosaan dan pembunuhan massal. Menurut ayah mertua pendahulu Anda, Bapak Presiden, militer Indonesia dengan bangga membunuh 3 juta orang, di negara yang hanya punya 100 juta penduduk di tahun 1965.
Budaya Indonesia juga dihancurkan. Bentuk-bentuk seni tradisional dianggap rendah, studio film ditutup, pemikir, penulis dan guru diburu, dibunuh, disiksa, diperkosa, dikirim ke penjara atau ke kamp konsentrasi Buru.
Itu adalah genosida pertama Bapak Presiden. Yang terjadi selanjutnya adalah yang kedua, juga didukung dan dikagumi oleh Barat - genosida di Timor Timur. Di sana, sekitar 30% rakyatnya meninggal dunia ketika TNI mengamuk dan membunuh. 30% dari penduduknya, Bapak Presiden, dan tidak ada seorang pun yang benar-benar dihukum untuk hal ini. Dan baik dalam tim Anda maupun lawan Anda punya orang-orang yang pernah bertugas dalam pendudukan Timor Timur.
Dan genosida ketiga masih berlangsung, di Papua! Taktik yang sama juga digunakan, pemerkosaan yang sama, intimidasi yang sama, dan pembunuhan massal yang sama. Setidaknya 150.000 orang telah dibunuh, walau angka ini mungkin jauh dibawah yang sebenarnya terjadi.
Namun demikian, tidak ada protes, dan tidak ada gerakan massa di negara Anda untuk menghentikan pembantaian tersebut. Bahkan hal ini tidak dibahas oleh media massa di Indonesia. Hal itu dianggap tabu. Dalam negara dengan ‘demokrasi yang dinamis' ini tidak ada yang berani, atau tak ada yang peduli, dan hal ini cukup mengejutkan.
Bapak Presiden, apakah menurut Anda semua ini kondisi yang sehat di negara Anda? Bangsa yang diam, yang tidak mau tahu dan tidak peduli, yang menolak mengakui apa yang terjadi, dan kurangnya kasih sayang pada sesama?
Semua ini termasuk korupsi, Bapak Presiden. Korupsi moral. Jika seseorang dapat mentolerir, bahkan mengabaikan 3,5 juta orang yang dibantai dengan kejam di negaranya sendiri, menurut Anda bukannya logis kalau mereka juga akan 'memaafkan' penggundulan hutan habis-habisan, penjarahan sumber daya alam, hilangnya berbagai macam spesies di alam, sungai dan pantai yang hancur, dan pencurian besar-besaran oleh kaum elit?
Ketika baru-baru ini saya menulis tentang ‘horor di kebun binatang Surabaya' di mana lebih dari 50% hewan hilang/lenyap/mati, saya sama sekali tidak terkejut. Saya melihatnya sebagai kelanjutan logis dari budaya impunitas dan kurangnya belas kasih yang kronis. Ketika seorang pendeta di Surabaya mengatakan kepada saya bahwa pelacur lokal dipaksa untuk berhubungan seks pada usia 6 atau 7 tahun, dan pada usia 11 tahun mereka dibuang ke jalanan karena sudah 'terlalu tua', saya langsung melihat adanya hubungan langsung ke kekejaman yang terjadi di tahun 1965 dan di Timor timur.
Semua ini tidak akan dilupakan, Bapak Presiden: 1965, Aceh, Timor Timur, dan Papua... Apakah Anda sudah membaca dan mempelajari apa yang terjadi di semua tempat ini? Saya sudah pernah ke Timor Timur, Aceh dan Papua.
Bapak Presiden, dengan adanya kejahatan-kejahatan tersebut di atas terbukti bahwa negara Indonesia tidak sehat. Jika Anda mencintainya, cobalah untuk menyembuhkannya. Menyangkal apa yang telah terjadi hanya akan membawanya ke masa depan yang lebih mengerikan.
*
Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, saya tidak percaya bahwa Anda terpilih secara 'demokratis', Bapak Presiden. Untuk mencapai posisi Anda sekarang, baik Anda maupun lawan Anda, harus diperiksa dan diperiksa kembali (check and re-check) oleh kaum elit. Anda harus 'disetujui' oleh penguasa sejati bangsa Indonesia, yang pasti bukanlah merupakan sebuah badan yang dipilih rakyat, bukan pula yang sudah melalui beberapa 'proses demokrasi'. Orang-orang ini harus diyakinkan bahwa tidak peduli siapapun yang akan terpilih, dia tidak akan pernah berani untuk melawan kepentingan mereka, dan dia tidak akan ‘menggoyang perahu’ dan melawan arah utama kemana negara ini dibawa.
Tentu saja sistem yang sama, rezim yang sama, juga ada di Amerika Serikat dan di beberapa negara lain yang mengendalikan Indonesia dan kaum elit nya, sejak tahun 1965. Sistem yang sama juga ada di beberapa negara yang miskin dan sangat miskin, di mana para elitnya berkhianat menjual laki-laki, perempuan dan anak-anak di negaranya untuk kepentingan asing, contohnya: Uganda dan Kenya, Honduras dan Paraguay, Bahrain dan Filipina.
*
Kalau kita mempelajari sejarah planet kita, telah terbukti berkali-kali bahwa bahkan sekelompok kecil orang-orang yang berani dan jujur, bahkan satu orang laki-laki atau perempuan yang kuat dan berani, dapat mengubah arah negara mereka.
Sebelum Chavez, Venezuela, negara yang kaya dengan sumber daya alam, juga merupakan koloni virtual pihak Barat. Chavez berani berdiri kokoh melawan rezim dan melawan seluruh imperium Barat. Dia berjuang dan dia mengubah bangsanya. Dia bertempur dan dia menang. Pada akhirnya dia jatuh atau mereka membunuhnya dari luar negeri, tetapi dia telah berhasil mengubah Venezuela, Amerika Selatan dan dunia. Dia tidak pernah menyerah. Dia tidak pernah mengkhianati rakyatnya. Hal ini dia lakukan karena dia mencintai Venezuela, dan dia mencintai Amerika Latin!
Patriot sejati selayaknya juga seorang internasionalis. Dia mengasihi umat manusia sebanyak dia mengasihi rakyatnya. Dengan berjuang untuk dan membela rakyatnya, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak, dia juga berjuang untuk semua rakyat tertindas di seluruh dunia. Chavez berjuang di Venezuela, tapi pertempurannya juga ditujukan bagi mereka yang hidup sengsara di Asuncion, Kampala, Manila, atau Jakarta.
Apakah Anda tahu bagaimana revolusi di Amerika Selatan dimulai, Bapak Presiden? Ketika orang miskin, seperti misalnya di Bolivia, berkata 'cukup!': 'Jangan pernah berani memprivatisasi air, listrik dan kebutuhan lainnya! Ini negara kami. Kami tidak akan mau menjadi budak dari para pengusaha dan perusahaan asing!"
Dan bukan hanya laki-laki yang telah berjuang. Lihatlah Brasil, Argentina, dan Chile. Negara-negara besar yang dipimpin oleh perempuan-perempuan yang hebat: mantan pejuang gerilyawan, perempuan-perempuan yang selama masa 'diktatorship ala Suharto’nya sendiri pernah dipenjara, disiksa, dan diasingkan.
Di Amerika Latin, mereka yang melakukan kejahatan serupa dengan yang dilakukan di Indonesia (meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil) sekarang mendekam di penjara. Monumen-monumen dan museum-museum besar di Santiago de Chile dan di Buenos Aires dibangun untuk memperingati mereka yang tewas di tangan rezim fasis.
Itu sebabnya, negara-negara itu bergerak maju dengan kecepatan yang luar biasa. Itu pula sebabnya mengapa tingkat korupsi jauh menurun. Sekarang ini ribuan orang Eropa mencoba bermigrasi lagi ke Amerika Selatan untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik!
Satu orang bisa mengubah sejarah, Bapak Presiden. Tapi dia harus berani, penuh kasih sayang dan dia harus mencintai rakyatnya. Dia harus siap untuk bertempur dan mati untuk mereka, jika perlu. Tidak ada kekayaan ataupun hak-hak istimewa yang bisa membawa kebahagiaan seperti kebahagiaan yang didapat dari bekerja atas nama rakyat, dengan menjadi hamba mereka yang sejati.
Anda diberi kesempatan bersejarah yang luar biasa, Bapak Presiden! Sekarang Anda dapat mengubah dan memperbaiki nasib negara dengan populasi terbesar keempat di bumi. Sekarang tidak ada lagi yang lebih penting: Anda tidak punya dan memang seharsunya tidak ada pun di pikiran Anda selain kepentingan rakyat Anda. Tidak boleh ada kepentingan pribadi, bahkan juga keluarga.
Fokus perhatian Anda hanyalah ini: memperbaiki negara Anda dan dunia. Keluarga Anda adalah 300 juta orang laki-laki, perempuan dan anak-anak, yang bisa gagal atau sukses, tergantung pada tindakan-tindakan yang akan Anda ambil dalam beberapa tahun ke depan. 300 juta nyawa manusia adalah keluarga Anda - dan semua harus sama di mata Anda!
Ini adalah satu tanggung jawab yang luar biasa, tapi Anda menginginkannya, dan sekarang sudah diberikan kepada Anda.
Kalau Anda akan memilih untuk melawan dan berjuang, maka saya akan selalu berada di dekat Anda, bahkan jika saya harus terus berjuang secara fisik di berbagai bagian lain dari planet kita.
Sekarang yang ada hanya satu perjuangan: untuk dunia yang lebih baik, bagi rakyat, dan bagi kelangsungan hidup planet kita.
Terus maju, 'Presiden Jokowi!’ Atau yang biasa kami katakan: ‘Victoria o muerte!', 'Victory or death!', ‘Menang atau Mati!’
***
Andre Vltchek adalah seorang novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia meliput perang dan konflik di berbagai negara. Salah satu hasilnya adalah buku terbarunya: “Fighting Against Western Imperialism” (Berjuang Melawan Imperialisme Barat) yang diterbitkan oleh penerbit Badak Merah. Penerbit Pluto di Inggris menerbitkan dialognya dengan Noam Chomsky: “On Western Terrorism” (Tentang Terorisme Barat). Novel politiknya yang kritis “Point of No Return” sudah diedit kembali dan tersedia. “Oceania” adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatifnya tentang Indonesia pasca-Suharto dan model fundamentalis pasar berjudul "Indonesia - The Archipelago of Fear" (terjemahan dalam bahasa Indonesianya ‘Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara’). Film dokumenternya "Rwanda Gambit" adalah tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, Vltchek saat ini tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Bahasa Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya .
Edisi Akhir Minggu 31 Okt - 2 Nov 2014
(Judul asli: 'Fight for New Indonesia - Open letter to President of Indonesia ’)
BERJUANG UNTUK INDONESIA BARU
Surat untuk Presiden Indonesia
Ditulis oleh: Andre Vltchek
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira
Anda baru saja dilantik beberapa hari lalu, Bapak Presiden, dan rakyat, setidaknya sebagian besar rakyat di negara Anda sekarang berharap, bahkan menuntut adanya perubahan atau transformasi bangsa sesegera mungkin. Dalam pikiran mereka, karena sekarang Anda sudah menjadi Presiden Indonesia, maka kehidupan mereka akan segera membaik, ketakutan mereka akan berkurang, dan penderitaan mereka akan hilang/berakhir.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade ini, kita lihat harapan di mata banyak orang miskin di Indonesia. Mereka percaya pada Anda, Bapak Presiden. Mereka merasakan optimisme. Bahkan sekarang sebagian dari mereka berani bermimpi lagi.
Harapan... Saya pernah diberitahu oleh seorang penulis dan cendekiawan/pemikir terkenal di Amerika Selatan, Eduardo Galeano bahwa "Seringkali harapan adalah satu-satunya yang dipunyai oleh orang miskin. Kalau kita berikan mereka harapan, dan kemudian mengambilnya kembali, hal itu lebih buruk daripada membunuh mereka."
Ketika itu pemerintahan sosialis mulai muncul di seluruh Amerika Selatan – mulai dari Venezuela sampai ke Chile, dari Argentina ke Bolivia. Pesan Galeano kepada mereka: "Kamerad, hati-hati! Tepati janjimu. Jangan bermain-main dengan harapan rakyatmu!"
Para pemimpin Amerika Selatan mendengar pesan ini, dan mereka menang. Mereka membuat harapan menjadi kenyataan. Mereka menyingsingkan lengan baju dan mulai bekerja atas nama rakyatnya. Mereka lupakan semua kebanggaan semu dan mereka belajar bagaimana melayani rakyatnya, bagaimana menjadikan rakyat sebagai prioritas, bagaimana membela mereka yang sampai saat itu diterlantarkan dan tak berdaya.
Bapak Presiden, sebuah negara atau negeri bisa dibilang hebat jika mempunyai satu tujuan tunggal saja, yaitu: menyejahterakan kehidupan rakyatnya, dan menyejahterakan kehidupan rakyat di seluruh dunia.
*
Di masa lalu saya sangat kritis terhadap Anda. Saya tidak percaya dan terus terang saja, saya masih tidak percaya bahwa di Indonesia seseorang bisa dipilih secara spontan, tanpa proses pra-seleksi oleh kaum 'elit' - sekelompok kolaborator yang korup dan yang sebenarnya menjadi masalah utama yang dihadapi negara ini.
Semua partai politik dan media massa yang besar dimiliki oleh kaum elit, dan tentu saja untuk kepentingan mereka sendiri.
Tapi sekarang saya merasa bahwa saya harus menghormati harapan rakyat yang percaya pada transformasi hebat dan cepat.
Saya tidak punya hak untuk mengatakan kepada rakyat bahwa harapan mereka sia-sia. Saya tidak akan mengatakan itu, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. Setelah saya menulis surat ini, saya tidak akan mengungkapkan pendapat saya tentang 'demokrasi' Indonesia, setidaknya untuk waktu yang cukup lama.
Saya pastikan bahwa saya akan memberikan Anda waktu untuk bernapas dan bekerja, serta berharap bahwa orang lain juga akan melakukan hal yang sama.
Jauh di dalam lubuk hati ini saya berharap dengan tulus bahwa ketidakpercayaan saya pada politik Indonesia akan terbukti, setidaknya sebagian, salah atau berlebihan. Saya ingin percaya bahwa pendukung Anda benar, dan bahwa satu orang seperti Anda benar-benar bisa mengalahkan sistem yang sangat brutal dan korup, dan Anda bisa bertahan, dan kemudian secara dramatis memperbaiki negara Anda ini.
Saya tahu bahwa tangan Anda bersih, tidak berlumuran darah. Anda adalah salah satu dari sedikit orang yang bersih. Saya tahu bahwa Anda tahu seberapa dalam rasa sakit yang diderita oleh rakyat Anda. Saya tahu bahwa Anda peduli kepada mereka. Untuk saat ini, hal itu sudah cukup bagi saya.
Saya tidak setuju dengan beberapa pendapat dan kebijakan Anda. Meskipun demikian, dengan surat terbuka ini, saya mendukung Anda, Bapak Presiden.
*
Saya menawarkan dukungan saya, jika Anda memerlukannya.
Saya menawarkan bantuan saya, selama Anda bersedia untuk berdiri tegak dan membela mereka yang tidak berdaya, dan untuk memperjuangkan mereka yang melarat – yang merupakan sebagian besar dari bangsa Anda.
Saya akan berada di pihak Anda selama Anda tidak mengkhianati kepercayaann rakyat.
Perkenankan saya untuk mengatakan sekali lagi: saya ingin pendapat saya terbukti salah. Saya ingin analisis saya sebelumnya tidak benar. Menurut saya, saya tidak salah, tapi saya ingin pendapat saya itu salah.
Saya memohon kepada Anda: Tetap tegar, Bapak Presiden! Dan berjuanglah untuk bangsa Anda yang sudah penuh luka dan terlalu banyak ditipu.
Jangan dengarkan orang-orang asing yang berkata manis tapi penuh tipu daya. Pujian mereka tidak berarti, tanpa belas kasih, dan hanya untuk kepentingan mereka saja. Mereka telah merampok Indonesia selama beberapa dekade. Mereka telah menghancurkan hidupnya hampir 50 tahun yang lalu, dan sekarang mereka mengatakan padanya betapa cantik, bebas, toleran dan demokratis. Jangan dengarkan dan jangan percayai mereka. Indonesia masih dirantai, dibelenggu, dan kesakitan. Dia masih bingung dan marah karena kesakitan yang diterima dan ditimpakan padanya. Dia sangat tidak toleran karena putra-putri terbaiknya telah dibunuh, dipenjarakan, dan dibungkam.
Apa yang dilakukan oleh orang asing itu seperti kalau kita berkunjung ke seorang pasien yang sakit parah, yang sudah hampir botak, yang warna kulitya sudah berubah, yang sudah hampir buta, dan kemudian berkata padanya "Wah, kamu terlihat cantik sekali, amat menawan, dan menggairahkan!"
Untuk berbohong, tidak peduli, dan mengabaikan rasa sakit yang dirasakan oleh perempuan bernama Indonesia itu bukanlah manifestasi dari kasih sayang, Bapak Presiden. Wujud kasih sayang malah melakukan hal yang sebaliknya: segera memanggil ambulans, dan membopongnya ke rumah sakit. Tindakan kasih sayang adalah memaksa semua orang di rumah sakit untuk memperjuangkan hidupnya, baik itu dokter, perawat, dan staf teknis. Tindakan kasih sayang adalah untuk mendampinginya ketika dia sekarat dan ketika tampaknya hampir tidak ada harapan lagi. Tindakan kasih sayang adalah untuk tidak pernah menyerah dan berjuang untuknya, untuk perempuan yang bernama Indonesia. Jika diperlukan, berjuang bersamanya di malam-malam dan hari-hari yang panjang, berjuang dengan segenap kekuatan kita agar dia selamat dan hidup.
Cinta tidak pernah didasarkan pada kebohongan, Bapak Presiden, dan tidak pernah karena tipu daya. Cinta ada karena kebenaran dan kasih sayang, karena simpati, dan tekad untuk mengerti.
Sudah saatnya untuk mencintai Indonesia dengan cinta yang berbeda, cinta yang jujur, bukan dengan kata-kata palsu: “Kamu terlihat pucat, penuh bekas luka, pembuluh darahmu masih terbuka dan lukamu masih basah dan belum sembuh. Tubuhmu kotor dan penuh nanah. Kamu terlihat mengerikan sekali. Tapi kamu tidak akan diterlantarkan karena kamu dicintai. Kamu akan diperjuangkan. Kamu dicintai bukan karena semangat nasionalisme yang semu dan konyol; kamu dicintai terutama karena kamu merupakan ratusan juta nyawa manusia. Kamu tidak boleh dibiarkan jatuh karena kalau kamu jatuh, maka semua orang itu akan jatuh bersamamu.”
Tetapi untuk menyelamatkan Indonesia, harus segera diambil tindakan karena kerusakannya sudah terlalu besar. Harus segera dilakukan operasi atau serangkaian operasi. Parasit-parasit yang membahayakan harus segera dikeluarkan dari tubuhnya. Mereka yang sudah meracuninya selama bertahun-tahun harus segera diusir. Musuh sejati harus didefinisikan dan ditantang.
Anda hadir di waktu yang genting. Anda terpilih untuk memimpin perjuangan ini, atau setidaknya itulah yang dipercayai oleh puluhan juta pengikut Anda, dan banyak dari mereka yang miskin.
Tidak peduli bagaimana Anda sampai pada posisi Anda sekarang, Bapak Presiden, namun sekarang Anda ada di sini dan menjadi pusat perhatian. Tapi hal ini tidak cukup: sekarang Anda harus memimpin. Anda berkewajiban untuk memimpin. Anda tidak punya hak untuk bermanuver dan bermain 'dua arah'. Anda adalah Presiden Indonesia ketiga yang punya hati dan pantas untuk membawa raksasa ini ke masa depan yang lebih baik. Yang pertama adalah Ahmed Sukarno. Yang kedua adalah teman saya 'Gus Dur', Abdurrahman Wahid.
Beberapa waktu lalu saya menulis bahwa Anda memasuki Jakarta sebagai gubernur dengan 'menunggang kuda kayu'. Banyak hal yang sudah berubah: kali ini Anda diberi kuda yang besar dan gagah, serta di tangan Anda ada senjata yang amat hebat dan keris terbaik yang tajam dan bersinar. Anda terlihat hebat di atas pelana dan rakyat mengelu-elukan Anda. Tidak ada waktu lagi untuk melihat ke masa lalu. Anda harus bergerak maju dan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan negara Anda.
*
Pernahkah Anda memperhatikan kesedihan di mata rakyat Anda, Bapak Presiden?
Pernahkah Anda melihat raut kelelahan, tak berdaya, dan merasa direndahkan di wajah mereka yang tinggal di desa-desa dan kota-kota? Ekspresi orang-orang yang hanya punya kekhawatiran tetapi tidak punya masa depan yang cerah, yang tidak dapat mengandalkan fasilitas publik apapun, yang harus membeli dan membayar segala sesuatu mulai yang kecil sampai yang besar, karena negara tidak menyediakannya untuk mereka.
Pernahkah Anda melihat pulau-pulau yang dulunya menakjubkan tapi sekarang berubah menjadi mengerikan - Sumatera, Bangka, Kalimantan – habis dijarah/ditebang, tertutup bahan kimia beracun berwarna hitam, dengan hampir tidak ada lagi yang alami, dengan hilangnya seluruh spesies yang dulu hidup di sana, dengan orang-orang yang sekarat karena sakit kanker dan lari berobat menyeberangi perbatasan ke Malaysia. Pernahkah, Bapak Presiden? Tanah air ini adalah milik Anda dan rakyat Anda. Media-media korporasi bisa saja menyembunyikannya, propaganda Barat mungkin juga menyembunyikannya, tapi semua hal di atas adalah benar adanya. Saya dapat menunjukkannya dengan ribuan foto yang sudah saya kumpulkan, juga dengan ratusan jam rekaman film: dari Timor Barat ke Aceh, dari Pontianak ke Sungai Musi, dari Sumba ke Batam.
Apakah Anda pernah mengunjungi daerah kumuh perkotaan, Bapak Presiden? Apakah Anda pernah mengunjungi desa-desa? Sebenarnya saya tahu kalau Anda pernah lakukan itu. Saya harap Anda akan mengatakan hal sebenarnya yang telah Anda lihat, dan tidak meniru dengan mengatakan kebohongan yang disampaikan oleh pendahulu Anda, yang menyatakan bahwa hanya sekitar 18% rakyat Indonesia yang benar-benar miskin, sementara jelas bisa kita lihat bahkan dengan mata kepala sendiri bahwa sebagian besar rakyat di negara Anda hidup dalam kesengsaraan. Dan bahkan mereka yang kaya raya, bahkan mereka yang sudah korup dan merampok negara ini dengan istana-istana dan mobil-mobil Eropa mereka yang ‘kitsch’, standar hidupnya masih di bawah standar terendah dari negara-negara seperti Korea, Jepang, atau bahkan Afrika Selatan - mereka masih menghirup udara yang buruk, minum air beracun, dan dikelilingi kota-kota yang sudah tercemar dan hampir tidak punya budaya.
Apakah Anda akhirnya akan mengakui berapa jumlah penduduk di negara Anda, Bapak Presiden? Kita sama-sama tahu bahwa jumlah penduduk negara Anda bukannya 238 juta, bahkan bukan pula 245 juta, tapi sudah lebih dari 300 juta. Ketika saya menulis buku "Indonesia - Archipelago of Fear" (Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara), saya bertemu dan berdiskusi dengan beberapa ahli statistik internasional papan atas yang mengklaim bahwa pemerintah Indonesia (seperti juga pemerintah Pakistan) menyembunyikan jumlah penduduk yang sebenarnya, yang sudah melebihi 300 juta orang. Mengapa? Karena ‘un-people’ yang tidak dihitung ini tidak perlu diberi fasilitas apapun, bahkan layanan yang paling dasar sekalipun. Mereka tidak akan merusak ilusi bahwa Indonesia adalah 'negara yang sedang berkembang, membaik dan kembali menjadi bangsa yang normal', seperti kata-kata yang digunakan oleh dari beberapa akademik di ANU (Australia National University).
Pernahkah Anda memperhatikan bahwa Indonesia sudah hancur, Bapak Presiden? Bahwa dari berbagai indikator, Indonesia sekarang ada pada tingkatan yang sama dengan bangsa-bangsa dari Afrika Timur dan Afrika Barat, jauh di bawah sebagian besar negara-negara di Asia Pasifik? Saya pernah tinggal dan bekerja selama bertahun-tahun di Afrika dan Asia, dan saya dapat bersaksi bahwa analisis tersebut memang benar.
Jalan, pelabuhan, bandara, rel kereta api, dan telekomunikasi / internet - semuanya dalam keadaan buruk, Bapak Presiden. Puluhan juta rakyat Indonesia tidak punya sambungan listrik, sementara sebagian besar rakyat hidup tanpa akses terhadap sanitasi dasar. Kualitas air di sini lebih buruk daripada di India, bahkan dibandingkan dengan di Bangladesh. Semua kota di Indonesia sudah tidak bisa disebut kota lagi karena tidak bisa memberikan apa yang seharusnya diberikan oleh pusat-pusat perkotaan di seluruh dunia: budaya kosmopolitan, transportasi umum yang modern, efisien dan murah, trotoar yang lebar, fasilitas umum yang hebat termasuk taman, perpustakaan umum yang tak terhitung jumlahnya, dan arsitektur elegan yang dibangun untuk melayani rakyat. Pada beberapa kesempatan, Jakarta telah dipilih sebagai kota terburuk di Asia Pasifik, tapi berbagai jajak pendapat tersebut jelas tidak memasukkan beberapa kota buruk lain seperti Surabaya, Denpasar dan Medan.
Apakah pernah terpikirkan oleh Anda bahwa negara terpadat keempat di bumi ini tidak punya satu pun pemikir/cendekiawan atau seniman besar yang dikenal di seluruh dunia? Tidak ada satu pun, Bapak Presiden, tidak ada lagi sejak mantan tahanan politik dan kawan dekat saya Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia. Dan dia meninggal masih dengan perasaan marah dan sakit hati karena muak dengan kondisi Indonesia, negara tercintanya, sekarang ini. "Orang Indonesia tidak punya budaya", demikian dia menyatakan dalam buku "Exile" (Saya Terbakar Amarah Sendirian!), yang merupakan perbincangannya dengan saya: "Sekarang mereka hanya punya budaya mencuri... mereka tidak menciptakan, mereka tidak menghasilkan/memproduksi... Seluruh pulau Jawa hanya menjadi pasar. Sangat memalukan!"
Kemana para ilmuwan, penulis, dan filsuf besar Indonesia? Mengapa tidak ada satu pun dari mereka berdiri kokoh di tengah-tengah negara dengan penduduk lebih dari 300 juta jiwa? China punya satu pasukan ilmuwan, filsuf, seniman dan penulis, begitu pula negara-negara seperti India, Brazil, Afrika Selatan, bahkan negara miskin seperti Nigeria! Setiap negara berkembang yang besar mengandalkan sejumlah besar tokoh luar biasa yang menjadikan negara mereka berbeda, yang membawa bangsanya menjadi bangsa yang maju; tokoh-tokoh yang memikirkan kesejahteraan rakyat mereka. Jadi mengapa Indonesia tidak ada tokoh-tokoh seperti itu?
Bapak Presiden, jelas dan kentara sekali bahwa ada sesuatu yang benar-benar salah.
Anda tentu sadar bahwa ketika sakit, orang-orang Indonesia yang punya uang langsung segera pergi menyeberang ke Malaysia atau Singapura untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih murah dan yang jauh lebih baik. Orang-orang yang mampu pergi ke luar negeri untuk berbelanja, karena di negara Indonesia yang jauh lebih miskin ini anehnya harga-harga berbagai barang, mulai dari bahan pakaian sampai makanan, jauh lebih tinggi dibandingkan harga-harga di negara-negara tetangganya - Malaysia dan Singapura. Orang Indonesia juga pergi ke luar negeri untuk belajar dan untuk mendidik anak-anak mereka.
Hal ini tentu menciptakan paradoks besar. Apakah anak-anak dan remaja dapat benar-benar belajar bagaimana menyelamatkan negeri mereka dengan melalui proses indoktrinasi di Eropa dan di Amerika Serikat, negara-negara yang telah menjarah dan menghancurkan negara kepulauan ini selama berdekade-dekade dan berabad-abad? Atau apakah anak-anak muda ini akan kembali ke Indonesia, setelah dikondisikan untuk melayani majikan-majikan neokolonialis, sementara dalam prosesnya mereka berusaha mengambil apapun yang dapat mereka peroleh dari kaum mayoritas yang miskin dan sangat tidak berpendidikan? Dan bahkan para dosen-dosen Indonesia yang mengajar di universitas-universitas paling bergengsi di Indonesia - mereka pun telah diprogram dengan dogma-dogma neokolonialis dan neoliberal, dan dengan persepsi konyol tentang keunggulan konsep-konsep (seperti misalnya demokrasi ala Barat) dan budaya Barat.
Korupsi di Indonesia yang amat dahsyat dan tidak punya belas kasihan kepada kaum mayoritas yang miskin berakar di jaman penjajahan. Dulu dan sekarang, yang disebut 'aristokrasi' dan 'elit' lokal melayani kepentingan para penjajah yang merupakan majikan mereka. Pada dasarnya, mereka bekerja sama dengan penjajah, melakukan pengkhianatan, sementara mengisi saku-saku mereka sendiri, kemudian pundi-pundi dan rekening bank mereka, semua dengan persetujuan dari Belanda. Akar dari korupsi selalu datang dari kolonialisme. Tidak ada yang berubah. Para kolaborator-kolaborator Indonesia sekarang ini yang merusak negara, menjarah sumber daya alam, semua atas nama korporasi multi-nasional asing dan rezim global Barat.
‘Perekonomian terbesar di Asia Tenggara’, demikian tulisan media massa Barat. Tentu saja, dengan penduduk yang berjumlah 300 juta orang, perekonomian negara ini terbesar di Asia Tenggara, tapi seberapa rendah jika dihitung per kapita? Apa yang diproduksi oleh negara ini, Bapak Presiden? Negara ini baru bisa merakit mobil dengan model lama yang sudah ditinggalkan/dibuang di luar negeri, dan beberapa produk elektronik serta pakaian jadi. Apa lagi? Perekonomian Indonesia benar-benar tidak kompetitif, dan hanya didasarkan pada penjarahan mutlak sumber daya alam dan harga komoditas global yang tinggi, yang tentu tidak wajar. Apa yang akan dimakan oleh penduduk Indonesia setelah tidak ada lagi yang dapat ditebang dan diambil sumber daya alamnya? Apa yang akan dilakukan oleh Jawa setelah tidak bisa lagi hidup dari minyak, hutan dan tambang di Aceh, Papua dan Kalimantan?
Tampaknya tak seorang pun yang melakukan pemikiran-pemikiran terlebih dahulu. Tentu tidak ada rencana lima tahun yang sosialis (pro-rakyat) seperti di China, tidak ada 'perencanaan terpusat', seperti perencanaan-perencanaan yang benar-benar ada agar negara-negara dapat berkembang dan maju, dan pasti bukan perencanaan yang memberikan ruang kepada kaum elit untuk mencuri/merampok dari bangsanya. Di Indonesia, prinsip ekonominya: 'ambil semua yang Anda bisa, sementara Anda bisa'. Negara ini adalah negara paling kapitalis yang paling pernah saya lihat di dunia ini, dan dalam jangka panjang, akan menjadi negara dengan kegagalan ekonomi dan sosial yang mutlak.
Bapak Presiden, mereka yang mencuri dari bangsa Indonesia bersembunyi di balik propaganda Barat yang dibuat untuk mempertahankan rezim yang sama di seluruh dunia. Tentu saja, pihak Barat mendukung sistem yang ada di Indonesia. Jelas sekali mengapa: karena mereka melayani kepentingan korporasi-korporasi di Eropa, Amerika Serikat dan Australia, sementara sebagian besar rakyat Indonesia tidak mendapatkan manfaat sama sekali dari sistem tersebut, dan pada waktu yang bersamaan, kekayaan bangsa ini menguap dengan kecepatan tinggi.
Sekarang ini banyak terdengar slogan-slogan nasionalis. Teriakan-teriakan mereka penuh dengan 'cinta'. "Damn, I love Indonesia!”, begitu tertulis di poster yang tergantung dari balkon sebuah mal di kota Surabaya.
Nasionalisme murahan sedang naik daun. Apa yang benar-benar dicintai oleh para kaum nasionalis? Apakah mereka mengasihi daerah-daerah kumuh yang tersebar dimana-mana dan kualitas hidup yang amat buruk? Atau apakah mereka menyukai kenyataan bahwa hampir semua sumber daya alam sudah habis, dan bahwa kota-kota sudah hancur karena banyak korupsi dan tidak adanya perencanaan kota; bahwa di banyak desa anak-anak berlarian tanpa alas kaki dan terlihat kurang gizi? Atau apakah mereka mencintai kenyataan bahwa Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara-negara lain di Asia Tenggara, dan oleh karenanya sekarang mereka bisa berbuat semaunya untuk kepentingan mereka sendiri; mereka dapat memperkosanya jauh dari mata yang ngin tahu dan marah?
Bapak Presiden, rendahnya kualitas media massa di Indonesia, yang semuanya dimiliki oleh kepentingan bisnis, adalah salah satu alasan mengapa hampir semua warga negara Indonesia terisolasi secara mutlak dan tidak dihadapkan pada keragaman pendapat. Seolah-olah konsep-konsep dari Cina, Venezuela, Kuba, Rusia, Afrika Selatan, dan Vietnam tidak ada. Seolah-olah, baru-baru ini, seluruh Amerika Latin tidak memenangkan revolusi besar dengan damai, berbalik dari neo-koloni Barat menjadi negara-negara yang punya harga diri dan dengan cepat ingin membangun masyarakat dan negara yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu untuk melayani rakyatnya.
Media di Indonesia tidak mendidik. Hampir tidak ada fasilitas yang publik di negeri ini, tidak terkecuali media. Media ada untuk 'menghibur', untuk mencuci otak, dan untuk menjaga tingkat intelektual ada pada tingkat yang paling rendah.
Kebudayaan dan seni – yang merupakan alat paling kuat dalam pembangunan masyarakat baru dan lebih baik di negara-negara seperti Amerika Latin atau China - di Indonesia, tidak mampu dan tidak bersedia untuk berdiri kokoh secara intelektual untuk memimpin dan menginspirasi bangsa ini. Sebaliknya, mereka memuntahkan sampah pop yang murahan dan tak terhitung jumlahnya, mulai dari film-film horor sampai lagu-lagu pop yang diproduksi massal. Kentara sekali siapa yang diuntungkan dari rakyat Indonesia yang dilobotimasi. Jelas, jika seni dan budaya dapat mendidik warga untuk berpikir, maka mereka tidak akan mentolerir rezim yang brutal dan gagal tersebut.
Bapak Presiden, penduduk Indonesia terus-menerus diberitahu bahwa mereka hidup dalam demokrasi. Bahwa bukti dari adanya demokrasi adalah banyaknya partai politik, dan banyaknya pernyataan tentang hal ini. "Pengusaha ini atau politisi itu dari Amerika Serikat, Australia atau Eropa mengatakan demikian..." Tentu saja mereka berkata begitu, berulang kali, karena bagi mereka, Indonesia adalah negara yang sempurna, yang, melalui para elitnya yang korup sudah mencuri dari dirinya sendiri, dan bukannya memberi makan anak-anak mereka yang kurang gizi, mereka malah mendukung dan memberi makan majikan-majikan kolonial dan neo-kolonialnya yang sudah kaya raya!
Tapi apa sebetulnya yang disebut demokrasi, Bapak Presiden? Definisi demokrasi, diterjemahkan dari bahasa Yunani, adalah 'kekuasaan ada di tangan rakyat’. Definisi itu tidak menyebutkan adanya 'sistem politik ala Barat dengan banyak partai'.
Apakah rakyat Indonesia benar-benar berkuasa di tanah air mereka sendiri?
Tidak, Bapak Presiden, dan mereka pun tidak berpikir demikian. Saya bertanya langsung kepada mereka di Dataran Tinggi Dieng dan di Alor, di Aceh dan Bali, di daerah-daerah kumuh di Jakarta, Medan dan Surabaya, di Kupang, Ende, Pontianak, dan di desa-desa terpencil di Sungai Musi.
Rakyat tidak berkuasa di Indonesia, dan mereka tahu bahwa mereka tidak berkuasa di negerinya sendiri, dan bahkan tidak mengharapkan untuk berkuasa. Tetapi mereka percaya bahwa mereka hidup dalam negara yang benar-benar 'demokratis' karena mereka diberitahu seperti itu, meskipun mereka belum pernah mencoba mencari tahu apa arti 'demokrasi' sebenarnya dan bagaimana demokrasi berjalan. Dan karena media massa dan sistem pendidikan ada terutama hanya untuk menjaga agar mereka tidak tahu, maka mayoritas dari mereka tidak tahu bahwa ada dunia lain yang lebih layak, dan bahwa ada banyak sistem pemerintahan yang baru dan lebih baik, seperti misalnya: Venezuela, Kuba, China, Afrika Selatan, Chile, Brasil, bahkan Malaysia.
Ketika berkelana ke berbagai bagian negeri Anda, saya terus menerus bertanya kepada penduduk Indonesia apakah suara rakyat dalam pemilihan umum dapat membuat perbedaan dalam kehidupan mereka, sebagian besar orang menjawab dengan tegas: "tidak". Kaum perempuan mengatakan bagaimana para suami atau ayah mereka menyuruh siapa yang harus dipilih. Penduduk desa memberitahu saya tentang praktek pembelian suara, suatu praktek yang umum dilakukan oleh semua partai politik besar maupun kecil. Orang-orang menjadi cukup sinis: mereka tahu bahwa seluruh 'sandiwara demokrasi' ini tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka. Para politisi tidak bersaing dengan mengemukakan program-program dan ide-ide bagaimana membuat masyarakat yang lebih baik dan meningkatkan taraf kehidupan warganya. Mereka hanya mencari stempel untuk melegitimasi apa yang sudah diputuskan oleh kaum elit di ruang-ruang tertutup di Jakarta.
Bagi Imperium (Empire), bagi pihak Barat, hal ini tentu saja jenis terbaik dari 'demokrasi' karena sistem ini sepenuhnya dikendalikan oleh pejabat dan elit lokal yang korup, yang pada gilirannya tunduk pada tujuan ekonomi dan geopolitik dari Washington, London atau Canberra. Pepe Escobar baru-baru ini menulis: "Sebagaimana ditekankan oleh pakar ekonomi terkenal Theotonio dos Santos, dekadensi Barat masih memaksakan pengaruhnya yang besar atas Global Selatan melalui jaringan para kolaboratornya yang luas."
Jaringan kolaborator yang luas... Jaringan butik-butik pakaian siap pakai yang overprized di pusat-pusat perbelanjaan yang dibangun sama di berbagai tempat, mobil-mobil mewah Eropa dengan model bukan yang terbaru yang dijual dengan harga tiga kali lipat dari harganya di Amerika Serikat, rumah-rumah seluas istana bergaya kue pengantin Disneyland yang menyedihkan, pesawat-pesawat jet berbadan lebar yang menerbangkan keluarga-keluarga berduit dari Jakarta dan Surabaya ke Singapura dan Hong Kong dimana mereka punya kondominium yang dibangun dari keringat dan darah rakyat Indonesia - semua ini hanya melayani kepentingan kelompok kolaborator modern. Dan sebenarnya para kolaborator ini merasa tidak aman, gelisah, sombong, dan siap untuk melakukan kejahatan apapun untuk bisa mempertahankan 'hak-hak istimewa' mereka dan memegang kendali atas kaum mayoritas yang tidak berdaya dan amat miskin di negara ini.
Orang-orang seperti ini akan ditembak mati di China atau menjalani hukuman penjara yang lama di Chile atau Brasil. Tapi di Indonesia, mereka malah dikagumi dan diberikan senyuman yang lebar.
Semua ini keliru, Bapak Presiden; amat, amat keliru!
Selama para perampok dan pencuri itu dihormati, tidak mungkin akan ada perubahan positif, dan korupsi tidak akan mungkin hilang.
Dengan keadaan seperti ini, semua diputar-balikkan dan diselewengkan: logika dan moral, bahkan hal-hal seperti budaya dan nilai-nilai keluarga.
Masa lalu Indonesia juga diselewengkan dan diputar-balikkan, Bapak Presiden. Dan kita semua tahu bahwa tanpa melihat sejarah bangsa dan dengan berani dan tekad bulat menyelesaikan masalah di masa lalu, maka negara manapun tidak akan punya masa depan yang layak. Masa lalu yang mengerikan walaupun tersembunyi tidak akan pernah pergi dan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan akan datang kembali dan menghantui bangsa yang melakukannya dan yang kemudian tidak menyesal telah berbuat itu dan tidak mengirim orang-orang yang bertanggung jawab untuk diadili.
Bapak Presiden, tidak ada 'kudeta Komunis’ pada tahun 1965, tidak ada ‘kudeta PKI'. Sekarang, ini adalah fakta yang dikeahui oleh orang-orang di seluruh dunia. Siapapun yang ingin mencari kebenarannya dapat dengan mudah menemukannya online, dari file-file yang sudah di-deklasifikasi dari Departemen Luar Negeri AS dan CIA. Kudeta tersebut dilakukan terhadap Presiden Sukarno yang berpikiran progresif dan juga terhaap kekuatan intelektual-progresif di Indonesia, termasuk PKI, guru, dan seniman - pada dasarnya kudeta terhadap semua pemikir. Kudeta itu dilakukan oleh angkatan bersenjata Indonesia yang telah melakukan makar dan berpihak pada negara-negara imperialis Barat. Kader-kader agama juga ikut membantai - pesta pora teror, pemerkosaan dan pembunuhan massal. Menurut ayah mertua pendahulu Anda, Bapak Presiden, militer Indonesia dengan bangga membunuh 3 juta orang, di negara yang hanya punya 100 juta penduduk di tahun 1965.
Budaya Indonesia juga dihancurkan. Bentuk-bentuk seni tradisional dianggap rendah, studio film ditutup, pemikir, penulis dan guru diburu, dibunuh, disiksa, diperkosa, dikirim ke penjara atau ke kamp konsentrasi Buru.
Itu adalah genosida pertama Bapak Presiden. Yang terjadi selanjutnya adalah yang kedua, juga didukung dan dikagumi oleh Barat - genosida di Timor Timur. Di sana, sekitar 30% rakyatnya meninggal dunia ketika TNI mengamuk dan membunuh. 30% dari penduduknya, Bapak Presiden, dan tidak ada seorang pun yang benar-benar dihukum untuk hal ini. Dan baik dalam tim Anda maupun lawan Anda punya orang-orang yang pernah bertugas dalam pendudukan Timor Timur.
Dan genosida ketiga masih berlangsung, di Papua! Taktik yang sama juga digunakan, pemerkosaan yang sama, intimidasi yang sama, dan pembunuhan massal yang sama. Setidaknya 150.000 orang telah dibunuh, walau angka ini mungkin jauh dibawah yang sebenarnya terjadi.
Namun demikian, tidak ada protes, dan tidak ada gerakan massa di negara Anda untuk menghentikan pembantaian tersebut. Bahkan hal ini tidak dibahas oleh media massa di Indonesia. Hal itu dianggap tabu. Dalam negara dengan ‘demokrasi yang dinamis' ini tidak ada yang berani, atau tak ada yang peduli, dan hal ini cukup mengejutkan.
Bapak Presiden, apakah menurut Anda semua ini kondisi yang sehat di negara Anda? Bangsa yang diam, yang tidak mau tahu dan tidak peduli, yang menolak mengakui apa yang terjadi, dan kurangnya kasih sayang pada sesama?
Semua ini termasuk korupsi, Bapak Presiden. Korupsi moral. Jika seseorang dapat mentolerir, bahkan mengabaikan 3,5 juta orang yang dibantai dengan kejam di negaranya sendiri, menurut Anda bukannya logis kalau mereka juga akan 'memaafkan' penggundulan hutan habis-habisan, penjarahan sumber daya alam, hilangnya berbagai macam spesies di alam, sungai dan pantai yang hancur, dan pencurian besar-besaran oleh kaum elit?
Ketika baru-baru ini saya menulis tentang ‘horor di kebun binatang Surabaya' di mana lebih dari 50% hewan hilang/lenyap/mati, saya sama sekali tidak terkejut. Saya melihatnya sebagai kelanjutan logis dari budaya impunitas dan kurangnya belas kasih yang kronis. Ketika seorang pendeta di Surabaya mengatakan kepada saya bahwa pelacur lokal dipaksa untuk berhubungan seks pada usia 6 atau 7 tahun, dan pada usia 11 tahun mereka dibuang ke jalanan karena sudah 'terlalu tua', saya langsung melihat adanya hubungan langsung ke kekejaman yang terjadi di tahun 1965 dan di Timor timur.
Semua ini tidak akan dilupakan, Bapak Presiden: 1965, Aceh, Timor Timur, dan Papua... Apakah Anda sudah membaca dan mempelajari apa yang terjadi di semua tempat ini? Saya sudah pernah ke Timor Timur, Aceh dan Papua.
Bapak Presiden, dengan adanya kejahatan-kejahatan tersebut di atas terbukti bahwa negara Indonesia tidak sehat. Jika Anda mencintainya, cobalah untuk menyembuhkannya. Menyangkal apa yang telah terjadi hanya akan membawanya ke masa depan yang lebih mengerikan.
*
Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, saya tidak percaya bahwa Anda terpilih secara 'demokratis', Bapak Presiden. Untuk mencapai posisi Anda sekarang, baik Anda maupun lawan Anda, harus diperiksa dan diperiksa kembali (check and re-check) oleh kaum elit. Anda harus 'disetujui' oleh penguasa sejati bangsa Indonesia, yang pasti bukanlah merupakan sebuah badan yang dipilih rakyat, bukan pula yang sudah melalui beberapa 'proses demokrasi'. Orang-orang ini harus diyakinkan bahwa tidak peduli siapapun yang akan terpilih, dia tidak akan pernah berani untuk melawan kepentingan mereka, dan dia tidak akan ‘menggoyang perahu’ dan melawan arah utama kemana negara ini dibawa.
Tentu saja sistem yang sama, rezim yang sama, juga ada di Amerika Serikat dan di beberapa negara lain yang mengendalikan Indonesia dan kaum elit nya, sejak tahun 1965. Sistem yang sama juga ada di beberapa negara yang miskin dan sangat miskin, di mana para elitnya berkhianat menjual laki-laki, perempuan dan anak-anak di negaranya untuk kepentingan asing, contohnya: Uganda dan Kenya, Honduras dan Paraguay, Bahrain dan Filipina.
*
Kalau kita mempelajari sejarah planet kita, telah terbukti berkali-kali bahwa bahkan sekelompok kecil orang-orang yang berani dan jujur, bahkan satu orang laki-laki atau perempuan yang kuat dan berani, dapat mengubah arah negara mereka.
Sebelum Chavez, Venezuela, negara yang kaya dengan sumber daya alam, juga merupakan koloni virtual pihak Barat. Chavez berani berdiri kokoh melawan rezim dan melawan seluruh imperium Barat. Dia berjuang dan dia mengubah bangsanya. Dia bertempur dan dia menang. Pada akhirnya dia jatuh atau mereka membunuhnya dari luar negeri, tetapi dia telah berhasil mengubah Venezuela, Amerika Selatan dan dunia. Dia tidak pernah menyerah. Dia tidak pernah mengkhianati rakyatnya. Hal ini dia lakukan karena dia mencintai Venezuela, dan dia mencintai Amerika Latin!
Patriot sejati selayaknya juga seorang internasionalis. Dia mengasihi umat manusia sebanyak dia mengasihi rakyatnya. Dengan berjuang untuk dan membela rakyatnya, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak, dia juga berjuang untuk semua rakyat tertindas di seluruh dunia. Chavez berjuang di Venezuela, tapi pertempurannya juga ditujukan bagi mereka yang hidup sengsara di Asuncion, Kampala, Manila, atau Jakarta.
Apakah Anda tahu bagaimana revolusi di Amerika Selatan dimulai, Bapak Presiden? Ketika orang miskin, seperti misalnya di Bolivia, berkata 'cukup!': 'Jangan pernah berani memprivatisasi air, listrik dan kebutuhan lainnya! Ini negara kami. Kami tidak akan mau menjadi budak dari para pengusaha dan perusahaan asing!"
Dan bukan hanya laki-laki yang telah berjuang. Lihatlah Brasil, Argentina, dan Chile. Negara-negara besar yang dipimpin oleh perempuan-perempuan yang hebat: mantan pejuang gerilyawan, perempuan-perempuan yang selama masa 'diktatorship ala Suharto’nya sendiri pernah dipenjara, disiksa, dan diasingkan.
Di Amerika Latin, mereka yang melakukan kejahatan serupa dengan yang dilakukan di Indonesia (meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil) sekarang mendekam di penjara. Monumen-monumen dan museum-museum besar di Santiago de Chile dan di Buenos Aires dibangun untuk memperingati mereka yang tewas di tangan rezim fasis.
Itu sebabnya, negara-negara itu bergerak maju dengan kecepatan yang luar biasa. Itu pula sebabnya mengapa tingkat korupsi jauh menurun. Sekarang ini ribuan orang Eropa mencoba bermigrasi lagi ke Amerika Selatan untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik!
Satu orang bisa mengubah sejarah, Bapak Presiden. Tapi dia harus berani, penuh kasih sayang dan dia harus mencintai rakyatnya. Dia harus siap untuk bertempur dan mati untuk mereka, jika perlu. Tidak ada kekayaan ataupun hak-hak istimewa yang bisa membawa kebahagiaan seperti kebahagiaan yang didapat dari bekerja atas nama rakyat, dengan menjadi hamba mereka yang sejati.
Anda diberi kesempatan bersejarah yang luar biasa, Bapak Presiden! Sekarang Anda dapat mengubah dan memperbaiki nasib negara dengan populasi terbesar keempat di bumi. Sekarang tidak ada lagi yang lebih penting: Anda tidak punya dan memang seharsunya tidak ada pun di pikiran Anda selain kepentingan rakyat Anda. Tidak boleh ada kepentingan pribadi, bahkan juga keluarga.
Fokus perhatian Anda hanyalah ini: memperbaiki negara Anda dan dunia. Keluarga Anda adalah 300 juta orang laki-laki, perempuan dan anak-anak, yang bisa gagal atau sukses, tergantung pada tindakan-tindakan yang akan Anda ambil dalam beberapa tahun ke depan. 300 juta nyawa manusia adalah keluarga Anda - dan semua harus sama di mata Anda!
Ini adalah satu tanggung jawab yang luar biasa, tapi Anda menginginkannya, dan sekarang sudah diberikan kepada Anda.
Kalau Anda akan memilih untuk melawan dan berjuang, maka saya akan selalu berada di dekat Anda, bahkan jika saya harus terus berjuang secara fisik di berbagai bagian lain dari planet kita.
Sekarang yang ada hanya satu perjuangan: untuk dunia yang lebih baik, bagi rakyat, dan bagi kelangsungan hidup planet kita.
Terus maju, 'Presiden Jokowi!’ Atau yang biasa kami katakan: ‘Victoria o muerte!', 'Victory or death!', ‘Menang atau Mati!’
***
Andre Vltchek adalah seorang novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia meliput perang dan konflik di berbagai negara. Salah satu hasilnya adalah buku terbarunya: “Fighting Against Western Imperialism” (Berjuang Melawan Imperialisme Barat) yang diterbitkan oleh penerbit Badak Merah. Penerbit Pluto di Inggris menerbitkan dialognya dengan Noam Chomsky: “On Western Terrorism” (Tentang Terorisme Barat). Novel politiknya yang kritis “Point of No Return” sudah diedit kembali dan tersedia. “Oceania” adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatifnya tentang Indonesia pasca-Suharto dan model fundamentalis pasar berjudul "Indonesia - The Archipelago of Fear" (terjemahan dalam bahasa Indonesianya ‘Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara’). Film dokumenternya "Rwanda Gambit" adalah tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, Vltchek saat ini tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Bahasa Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya .