Terjemahan Terbaru
Counterpunch
Edisi Akhir Pekan 12-14 Desember, 2014
Eritrea
Ebola Ideologis Afrika untuk Kaum Imperialis
Ditulis oleh: ANDRE VLTCHEK
Diterjemahkan oleh: ROSSIE INDIRA
Qohaito adalah sebuah tempat pemukiman tua yang misterius dari masa pra-Aksumite di dataran tinggi Eritrea dengan beberapa kolom monolitik yang menjulang ke langit. Konon di bawah permukaan pemukiman ini ada sebuah kota lain yang hilang. Saat Anda berjalan di sana, bumi terasa bergetar, dan di suatu tempat yang jauh di bawah sana, Anda dapat mendengar gema langkah kaki Anda sendiri.
Hanya beberapa menit berkendara dari kolom-kolom monolitik tersebut, dataran tinggi itu tiba-tiba berakhir. Terlihat ada tebing dan pemandangan ke lembah yang amat dalam. Tempat ini disebut Ishka. Di sinilah ribuan pejuang kemerdekaan Eritrea dan warga sipil bersembunyi dari pasukan pendudukan Ethiopia yang brutal.
Saya memasang kamera tepat di sisi tebing, lalu meminta kameramen lokal untuk mulai syuting, dan mengajukan pertanyaan pertama saya kepada seorang pendaki gunung lokal, Bapak Ibrahim Omar: "Bagaimana kehidupan anda di sini sebelum dan sesudah kemerdekaan?"
"Itu dua kehidupan yang berbeda", jelasnya. "Yang pertama, sebelum kemerdekaan – hidup di sini keras dan brutal. Dan kemudian setelah kami menang datang kehidupan lain yang sama sekali berbeda. Kehidupan yang mengakui dan menghormati hak-hak asasi kami. Sekolah, pos kesehatan dan jalan dibangun. Tiba-tiba, semua berubah."
Saya meminta Pak Omar untuk memberikan contoh dan dia segera menjawab:
"Sebelumnya, kalau mau melahirkan, seorang wanita hamil harus naik unta selama berjam-jam untuk sampai ke pos kesehatan. Banyak wanita yang meninggal dalam perjalanan. Sekarang, sudah banyak pos kesehatan yang tersedia di daerah ini... "
Dia diam selama beberapa detik, kemudian menambahkan: "Dan inilah yang saya sebut kehidupan."
Dalam perjalanan kembali ke ibukota - Asmara – memang kami lihat adanya jalan-jalan baru yang melintas pegunungan di sana, sebagian sudah beraspal, sebagian belum. Dan sepanjang jalan kita juga bisa lihat kabel-kabel listrik baru yang membentang menuju cakrawala.
Di dalam mobil, saya memikirkan apa yang didefinisikan oleh Pak Omar sebagai 'hak asasi manusia'. Arti dari hak asasi manusia di sini sangat berbeda dengan yang dikenal di Barat. Di Amerika Serikat dan di Eropa, 'hak asasi manusia' diciptakan sebagai alat ideologis, sebagai senjata pada masa Perang Dingin. Di Eritrea, maknanya sangat sederhana: memberi makan rakyat, memberi mereka pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, membangun jalan-jalan baru, dan memberikan pasokan tenaga listrik kepada mereka.
***
Tidak mudah memahami Eritrea. Namun di luar Asmara, semuanya terbuka; tidak ada yang bisa disembunyikan. Kemiskinan dan upaya pemberantasannya yang heroik ada di depan mata saya. Para petani bekerja keras; banyak jalan dan jaringan listrik yang sedang dibangun.
Tapi propaganda Barat terhadap Eritrea begitu hebatnya, bahkan seringkali saya mengingat-ingat slogan-slogannya, bukannya berkonsentrasi mengamati realitas yang ada di depan saya. Dan saya seorang profesional: Saya telah mendedikasikan hidup saya untuk mengungkap indoktrinasi-indoktrinasi Barat!
Saya membuat film dan memotret untuk menangkap kebenaran melalui lensa saya.
Hanya dalam waktu beberapa hari, muncul sebuah potret yang sangat jelas: Eritrea yang juga disebut sebagai Kuba-nya Afrika adalah negara yang berdiri di atas kakinya sendiri.
Eritrea adalah sebuah bangsa yang punya kebanggaan dan tekad kuat telah berjuang selama 30 tahun untuk memperoleh kemerdekaannya, dan kehilangan ratusan ribu rakyatnya selama masa perjuangan itu.
Eritrea adalah sebuah negara yang mempunyai model pembangunan egaliternya sendiri dan yang bekerja tanpa henti untuk kesejahteraan rakyatnya.
Eritrea adalah bangsa yang tidak mau mengorbankan rakyatnya untuk kepentingan ‘Empire’ (kekuasaan Barat) dan korporasi-korporasinya.
Semua ini kontras dengan propaganda yang datang dari London dan New York, yang menjelek-jelekkan negara ini dan yang mencoba menggambarkan negara ini sebagai sebuah negara jahat yang mendukung kelompok-kelompok teroris di Afrika Timur, yang menindas warganya, dan yang melanggar semua ‘hak-hak asasi manusia'.
Kali ini saya mencari kebenaran dengan mengunjungi berbagai pelosok negara yang digambarkan oleh Barat sebagai negera yang paling dikucilkan di muka bumi, dan saya hanya didampingi oleh tiga orang - Ibu Milena Bereket (Direktur " African Strategies", sebuah lembaga penelitian independen dan outreach think tank yang berkantor di Asmara), Azmera (seorang kameramen local), dan seorang sopir.
African Strategies menjadi tuan rumah saya selama di Eritrea, tapi dalam prakteknya mereka mengabulkan dan mengakomodasi permintaan-permintaan saya, serta mengatur wawancara dan transportasi ke tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Kami merencanakan dan bahu-membahu bekerja bersama. African Strategies adalah lembaga think-tank penelitian independen yang didirikan secara online pada tahun 2011 dan awalnya dibuat untuk merespon – secara virtual - tuntutan yang semakin besar dari orang Eritrea diaspora dan yang tinggal di benua Afrika, serta penduduk Afrika lainnya yang menginginkan informasi yang berdasarkan fakta dan informasi lokal mengenai Horn of Africa (Tanduk Afrika), khususnya Eritrea.
Dalam waktu yang relatif singkat, saya berhasil mengunjungi tiga wilayah/provinsi (zona) di negara ini, dan kalau saja waktunya cukup, saya boleh mengunjungi ke enam wilayah/provinsi yang ada. Namun demikian, selama delapan hari di negara ini, saya hampir tidak tidur karena saya memprioritaskan untuk bertemu rakyat dari desa-desa di pegunungan dan dari kota pelabuhan Massawa, saya memimpin diskusi meja bundar dengan beberapa tokoh intelektual muda, dan saya berdiskusi tentang politik dan model pembangunan Eritrea dengan beberapa pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kesehatan, serta dengan mantan pejuang pembebasan /kemerdekaan, dan dengan beberapa diplomat di Eritrea.
Semua pertemuan di atas bersifat spontan. Ternyata orang Eritrea tahu banyak tentang dunia ini dan sangat berpendidikan. Diskusi-diskusi politik yang kami lakukan di sana terbuka dan seringkali penuh semangat dan antusiasme. Saya tidak percaya dengan apa yang saya lihat, atau lebih tepatnya: Saya tidak percaya dengan kebohongan yang disebarluaskan tentang negara ini.
***
Di Hotel Asmara Palace (dulu bernama Inter-Continental), saya bertemu dengan Dr Mohamed Hassan, seorang penulis dan peneliti terkenal dari Ethiopia, mantan diplomat Ethiopia di Washington, Beijing dan Brussels, yang juga anggota parlemen yang mewakili Partai Buruh di Belgia yang militan. Sekarang ini dia menghabiskan banyak waktunya di Eritrea, yang sangat dekat di hatinya dan dekat dengan keyakinan ideologinya.
Tanpa membuang banyak waktu untuk hal-hal yang bersifat formalitas, kami mulai bekerja untuk syuting dan rekaman diskusi yang kami lakukan untuk sebuah film dokumenter.
Sejak awal, Dr Hassan menerangkan tesisnya dengan jelas:
"Saya berasal dari Horn of Africa (Tanduk Afrika), dan saya dapat melihatnya dari sudut pandang Eritrea, bahkan pada masa perjuangan mereka, tidak hanya perjuangan untuk kemerdekaan Eritrea saja, tapi untuk seluruh Horn of Africa (Tanduk Afrika) pada umumnya. Memang benar bahwa keinginan rakyat Eritrea untuk memperoleh kemerdekaan telah ditolak mentah-mentah dan mereka harus berjuang sangat lama untuk mendapatkannya... perlu waktu 30 tahun untuk mengalahkan musuh-musuh mereka, yang antara lain juga negara saya - Ethiopia - yang didukung oleh banyak negara-negara besar yang kuat... dalam suatu masa kekuatan itu dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya... kemudian Israel mendukung pasukan-pasukan khusus untuk melawan Eritrea... Pada tahun 1991, perjuangan mereka berakhir, dan kita semua berpikir bahwa kita akan bersama-sama membangun Horn of Africa (Tanduk Afrika) yang baru atas dasar kesetaraan, sebagai saudara, dengan tidak ada konflik di antara kami dan tidak ada hirarki... Menurut pendapat saya, tahun 1991 adalah momen terbaik yang pernah kami miliki di bagian benua ini. Eritrea berhasil mengalahkan rezim tetangga dan kemudian mendukung kaum revolusioner di Ethiopia; orang-orang seperti kami... Pada saat itu, ada perubahan besar yang terjadi di Ethiopia. Kami berharap bahwa kami akan bisa mengintegrasikan ekonomi negara-negara di sini, dan kami akan membangun hubungan yang baru antara rakyat di negara-negara ini... "
Tapi bukan itu yang terjadi. Pak Hassan mengenang ada perubahan besar di dunia pada waktu itu. Tidak ada lagi Uni Soviet sehingga keseimbangan kekuasaan hanya condong ke satu sisi.
Pak Hassan melanjutkan:
"Tiba-tiba, di Amerika Serikat ada seorang perwira, salah satu pejabat penting di Pentagon, menulis untuk jurnal militer “Parameters", memorandum dan pemahamannya tentang apa yang harus dilakukan untuk Afrika. Tulisan itu menggambarkan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat di Afrika, dan di dalamnya Afrika dibagi menjadi 4 wilayah... Satu wilayah akan menjadi bagian selatan Afrika, sebuah areal yang sangat besar mulai dari Afrika Selatan sampai ke Kongo, wilayah yang penuh mineral, yang 'sangat penting bagi militer dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat’... Wilayah kedua adalah Horn of Africa (Tanduk Afrika), yang seharusnya menyatukan Afrika Timur dengan ‘Timur Tengah yang diperluas', wilayah yang dicoba diciptakan oleh GW Bush. Pangkalan militer Barat yang terletak di Tanduk Afrika seharusnya siap untuk melakukan intervensi di Timur Tengah dan di negara-negara Afrika lainnya ..."
Zona ke-3 akan menjadi Afrika Barat, wilayah yang kaya minyak yang ditambang untuk memenuhi permintaan di Amerika Utara. Zona ke-4 adalah wilayah Afrika Utara, dari mulai Mesir sampai ke Mauritania.
Semua 4 zona di atas tentu saja harus sepenuhnya dikendalikan oleh Barat.
"Segera setelah dokumen tersebut diterbitkan, Mr. Anthony Lake, yang saat itu menjabat sebagai penasihat keamanan nasional di dalam pemerintahan Presiden Clinton, menerbitkan teori baru yang disebut ‘Anchor States’ (Negara-negara yang dijadikan Negara-negara terpenting dan digunakan sebagai jangkar). Dia juga membagi benua Afrika menjadi 4 pangkalan; mendefinisikan 4 'negara jangkar'. Satu: Afrika Selatan - 'bertanggung jawab’ atas bagian selatan Afrika. Dua: Ethiopia – ‘bertanggung jawab’ atas Tanduk Afrika. Tiga: Mesir - untuk Afrika Utara. Dan empat: Nigeria - 'bertugas' di Afrika Barat. Tidak lama setelah itu, Nigeria melakukan intervensi di Sierra Leone dan Liberia, dan Ethiopia juga menerima perannya menjadi pangkalan untuk agresivitas Barat di wilayah tersebut."
Eritrea tidak pernah menjual dirinya. Negara ini tidak pernah mau menerima permainan-permainan kaum imperialis di wilayah tersebut. Negara ini berdiri tegak untuk menolak dominasi Barat di wilayahnya, karena negara ini punya prinsip-prinsip: kemerdekaan, tidak ada interferensi dari luar, tidak ada pangkalan militer di Tanduk Afrika, dan punya keinginan untuk membangun Tanduk Afrika yang baru... Menurut Dr. Hassan, semua hal tersebut dianggap 'negatif' oleh kekuatan-kekuatan besar. Inilah sebabnya mengapa Eritrea diidentifikasi sebagai pariah state (negara sampah).
***
Seberapa brutal dan seberapa konsisten hukuman atau retribusi untuk memperoleh kemerdekaan dan bekerja untuk rakyat dan untuk keadilan sosial?
Embargo terhadap Kuba adalah contoh yang sangat baik dari seberapa jauh Empire (Kekaisaran) bersedia melakukannya. Atau 'membuat perekonomian bergerak maju' yang dilakukan oleh pemerintahan sosialis Presiden Allende di Chile, yang menurut Mr. Kissinger dan petinggi-petinggi korporasi jelas memiliki 'pengaruh yang amat buruk' di seluruh Amerika Latin dan bahkan di negara-negara Mediterania nun jauh di sana. Atau mungkin serangan militer langsung, seperti yang yang dilakukan terhadap Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Sukarno yang berpikiran independen.
Di Indonesia (di tahun 1965) dan Chile (di tahun 1973) terjadi pertumpahan darah dengan adanya kudeta yang diatur oleh Barat. Chile sudah pulih baru-baru ini, tapi Indonesia tidak pernah bisa. Kuba berdiri kokoh walau harus dibayar dengan harga yang luar biasa tinggi dan dengan tekad dan keberanian yang tak tertandingi.
Demikian pula Eritrea yang berdiri kokoh dan secara konstan melawan berbagai subversi, serangan, propaganda, embargo dan provokasi.
Itulah mengapa negara ini sering disebut "African Cuba" (Kuba-nya Afrika). Atau mungkin seharusnya negara ini dibandingkan dengan Vietnam, atau bisa juga dengan keduanya. Tetapi yang sebernarnya Eritrea telah mengembangkan model perlawanannya sendiri. Baik keberanian maupun perjuangannya adalah dengan modelnya sendiri. Negara ini benar-benar unik, dan rakyatnya bangga menjadi diri mereka sendiri, bangga karena mereka berbeda.
Namun demikian, bisakah Eritrea bertahan, sementara negara-negara yang jauh lebih besar dan lebih kaya seperti Libya, Irak, dan Suriah satu demi satu jatuh, hanya karena Empire (kekaisaran) menganggap mereka memberikan terlalu banyak kepada rakyat mereka sendiri, dan terlalu sedikit untuk korporasi-korporasi Empire?
***
"Kami tidak ingin dikotak-kotakkan", demikian jawaban yang saya terima setiap kali saya bertanya apakah Eritrea adalah sebuah negara sosialis.
"Coba lihat Amílcar Cabral dari Guinea-Bissau", kata Elias Amare, salah satu penulis dan pemikir yang paling berhasil dari Eritrea, juga Senior Fellow di ‘Peace building Center for the Horn of Africa’ (PCHA ). "Cabral selalu berkata: ‘Nilailah kami dari apa yang kami kerjakan di lapangan'. Hal yang sama berlaku juga untuk Eritrea."
Sebagian besar pemimpin dan pemikir Eritrea, kalau bukan penganut Marxisme, paling tidak hati mereka sangat dekat dengan cita-cita sosialis. Tapi jarang yang berbicara tentang sosialisme di sini, dan hampir tidak ada bendera merah. Bendera nasional Eritrea lah yang berkibar di mana-mana, sementara kemerdekaan, kemandirian, keadilan sosial dan persatuan dapat dianggap sebagai pilar dasar ideologi nasional.
Menurut Elias Amare:
"Eritrea sudah sukses dan mencapai prestasi besar dalam apa yang didefinisikan PBB sebagai 'Millenium Development Goals', khususnya dalam hal pendidikan dasar yang gratis bagi semua serta memastikan adanya emansipasi dan kesetaraan perempuan di segala bidang. Dalam bidang kesehatan , negara ini berhasil mengurangi tingkat kematian bayi secara dramatis, serta pengurangan angka kematian ibu. Dalam hal ini, Eritrea dianggap sebagai teladan di Afrika; hanya sedikit negara lain yang telah mencapai sebanyak itu. Jadi, meskipun banyak rintangan yang dihadapi, gambaran yang ada amat positif."
"Eritrea tetap di jalur independennya. Negara ini punya pandangan progresif dalam membangun persatuan nasional. Eritrea adalah masyarakat multi-etnis dengan beberapa agama di sana. Mereka punya 9 kelompok etnis, dan dua agama besar: Kristen dan Islam. Dua agama tersebut hidup berdampingan secara harmonis, dan hal ini bisa terjadi karena adanya budaya toleransi yang sudah dibangun oleh masyarakatnya. Tidak ada konflik atau permusuhan antara kelompok etnis ataupun kelompok agama. Pemerintah dan rakyat bertekad untuk memelihara persatuan nasional ini."
Hal ini kontras dengan negara-negara lain di benua Afrika. Konflik etnis dan agama telah melanda Sudan, Kenya, Kongo, Uganda, Rwanda, Burundi dan banyak negara lainnya. Dan di belakang konflik-konflik tersebut seringkali ada unsur-unsur kolonialisme lama dan neo-kolonialisme.
Yang telah dicapai oleh Eritrea bukanlah prestasi kecil, tapi merupakan terobosan penting.
Saya bertanya kepada Elias, jika demikian, mengapa pihak Barat begitu agresif menghalangi jalur yang diambil oleh Eritrea? Dia menjawab:
"Saya kembali pada pandangan Noam Chomsky mengenai hal ini: setiap kali sebuah negara kecil mencoba untuk menjadi independen, dan berbuat hal yang benar untuk perkembangan negara dan bangsanya, maka negara-negara Barat tidak menyukainya. Mereka ingin punya 'negara klien’. Mereka ingin negara yang tunduk pada kepentingan kapitalisme global.... Semua hal yang benar yang dikerjakan negara yang independen adalah hal-hal yang pantang dilakukan di mata negara-negara imperialis Barat. Mereka ingin rezim neo-kolonial yang mematuhi diktat dari Bank Dunia, IMF, WTO, dan sebagainya."
***
Pelabuhan Massawa masih berupa reruntuhan. Ethiopia membom kota bersejarah ini rata dengan tanah dalam tahapan terakhir dari perang kemerdekaan Eritrea.
Sejak itu, pekerjaan rekonstruksi dilaksanakan, perlahan tapi pasti. Dan sekarang pelabuhan sudah berfungsi dengan baik; sangat modern dan efisien. Kapal-kapal kargo yang berlayar ke seluruh penjuru dunia, sementara kapal feri penumpang menghubungkan semenanjung dengan Kepulauan Dahlak.
Namun demikian, di dalam kotanya masih terlihat kengerian akibat perang di berbagai penjuru. Banyak bangunan bersejarah yang masih berdiri tapi kosong seperti rumah hantu. Di pintu masuk ke pelabuhan, ada sebuah pedestal besar tapi tanpa patung di atasnya. Saya bertanya, patung apa yang pernah ada disana? "Haile Selassie", kata orang-orang di sana.
Kami berhenti di kedai kopi tua yang dikenal dengan upacara minum kopi yang memakan waktu lama. Hidup di kota ini perlahan-lahan kembali normal. Orang-orang minum kopi dan ngobrol.
Dua orang wanita memasak di depan rumah mereka. Kami mendekati mereka. Saya ingin tahu apakah kehidupan mereka telah membaik.
Ibu Maaza, 55 tahun, menjawab:
"Kehidupan sekarang jelas lebih baik daripada ketika orang-orang Ethiopia ada di sini. Orang-orang dewasa diberi pendidikan... Anak-anak juga dididik… semuanya gratis. Perawatan medis juga disediakan kalau kami sakit. Kami merasa optimis dan penuh harapan untuk masa depan."
Kemudian dia mengajak kami ke rumahnya untuk makan siang.
Sekali lagi, Massawa hidup kembali. Ada sebuah perguruan tinggi baru (Sekolah Tinggi Ilmu Kelautan dan Teknologi), bandara internasional baru, dan zona perdagangan bebas.
Hotel-hotel kembali dibuka.
Masih terlihat peninggalan perang, monumen, tank dan kendaraan lapis baja yang hancur di pedesaan.
Apa yang telah dilalui oleh negara ini amatlah mengejutkan. Faktanya ada di sini, negara ini sudah selamat dari perang, menjadi pemenang, dan berhasil bergerak maju, dan tentu ini merupakan keajaiban tersendiri. Atau lebih tepatnya: semua ini adalah bukti heroisme rakyatnya.
***
Di kota Asmara, saya berbicara dengan diplomat senior Eritrea, Tesfamichael Gerahtu, mantan Duta Besar untuk Inggris. Tapi Mr. Gerahtu bukan hanya perwakilan Eritrea di luar negeri, beliau adalah salah satu pahlawan nasional yang sudah berjuang selama bertahun-tahun untuk kemerdekaan negara ini melawan segala rintangan. Dan beliau telah membantu membangun bangsa ini sampai sekarang:
"Eritrea sekarang ini damai dan stabil karena pemerintahnya menerapkan 'paradigma pembangunan terpadu' - kesempatan yang sama bagi semua, dengan fokus khusus daerah pedesaan dan daerah yang sebelumnya terbelakang. Kami berusaha meningkatkan kualitas hidup masyarakat... kami melakukan transformasi budaya yang akan mengarah pada penciptaan ‘masyarakat yang berpengetahuan’, di mana setiap orang adalah pelaku proses pembangunan. Kami berusaha untuk membangun kerjasama berdasarkan dialog, saling menghormati dan saling menunjang program dan proses pembangunan."
Saya bertanya tentang bagaimana perlakuan Amerika Serikat kepada negara yang disebut sebagai pemberontak Afrika.
"Pola perlakuan Amerika Serikat terhadap Eritrea selama bertahun-tahun ini penuh dengan konspirasi."
Kemudian beliau mengutip duta besar Amerika Serikat untuk PBB (kemudian menjadi Menteri Luar Negeri AS) John Foster Dulles: "Dari sudut pandang keadilan, pendapat orang-orang Eritrea harus dipertimbangkan. Namun, kepentingan strategis Amerika Serikat di cekungan Laut Merah dan pertimbangan keamanan dan perdamaian dunia menyebabkan perlunya mengkaitkan negara ini dengan sekutu kami, Ethiopia."
Saya menyampaikan bahwa dari dulu sampai sekarang Amerika Serikat terus menggunakan dalih dan mekanisme yang berbeda untuk mengacaukan (mendestabilisasikan) Eritrea. Bapak Duta Besar menanggapi pernyataan saya dengan penuh semangat:
"Mereka secara aktif melakukan blokade ekonomi... dan ketika hal itu gagal, Amerika Serikat menggunakan Ethiopia untuk memulai perang pada tahun 1998... dan ketika hal ini gagal juga, mereka menyuntikkan perbedaan pendapat politik dan mencoba untuk membuat kelompok-kelompok dan perpecahan berdasarkan etnis... dan ketika ini gagal juga, mereka menggunakan agama - Pantekosta... dan ketika hal ini gagal lagi, mereka mulai memikat pemuda untuk pergi ke luar negeri, bahkan dengan memberikan visa secara ilegal kepada orang-orang yang tidak punya paspor... dan kemudian berbalik menuduh pemerintah telah menjalankan "perdagangan manusia"... dan ketika ini gagal juga, mereka secara aktif mendorong beberapa negara tetangga untuk memulai konflik dengan Eritrea dan juga secara rahasia mendorong untuk mengisolasi Eritrea agar keluar dari IGAD... Mereka menggunakan negara 'klien' untuk mempromosikan strategi mereka sendiri untuk wilayah ini... Dan ketika hal itu juga gagal, mereka memberikan label "terorisme” untuk merekayasa sanksi ilegal dan tidak adil... Akhirnya, ketika semua usaha itu gagal, mereka telah dan terus menggunakan isu "hak asasi manusia" dan "demokrasi" sebagai alat untuk melakukan intervensi..."
***
"Lihat saja apa yang kami lakukan dan beri tahu kami apakah negara kami sosialis atau tidak", demikian yang dikatakan banyak orang kepada saya.
Semakin saya melihat, semakin saya yakin bahwa rencana Eritrea, prosesnya, revolusinya, sangat mirip dengan apa yang sedang diperjuangkan di Kuba, di Venezuela atau Ekuador.
Tapi di sini ada kebanggaan yang besar dan juga kerendahan hati. Proses yang dilakukan Eritrea diam-diam dan tidak gembar-gembor. Akibatnya, hanya sedikit yang diketahui dunia tentang negara yang luar biasa ini.
***
Dr. Taisier Ali adalah orang Sudan yang sudah tinggal di Eritrea selama 15 tahun. Dia adalah direktur PCHA. Kami berbincang di kantornya dan mencoba untuk menganalisis mengapa model Eritrea begitu disalahpahami di luar negeri, atau mengapa model tersebut diabaikan oleh media massa Barat:
"Ketika Anda berbicara tentang Eritrea kepada masyarakat internasional dan dunia luar, saya pikir negara ini adalah salah satu negara yang paling tidak dipahami oleh masyarakat di seluruh dunia... Setelah datang kemari, saya segera menyadari bahwa di sini mereka punya tujuan, 'proyek nasional', yang dilahirkan dan dikembangkan dalam perjuangan selama 30 tahun. Kita memang tidak harus menerimanya, tapi setidaknya mereka bertekad untuk membawa negara mereka dari titik A ke titik B. Mereka menghadapi banyak tantangan, tetapi mereka tetap di jalurnya. Negara-negara lain di Afrika mirip dengan negara saya - Sudan - tidak punya tujuan".
"Salah satu faktor mengganggu di Sudan dan Afrika pada umumnya adalah korupsi. Di Eritrea tidak ada yang seperti itu. Bagi saya, hal ini selalu mengingatkan saya bahwa jika Eritrea bisa fokus pada perkembangannya; pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up), direncanakan dari kebutuhan nyata rakyatnya, maka mengapa kami tidak bisa melakukannya juga?"
Saya bertanya, "Sebetulnya apa sih yang paling ditakuti oleh Barat, apakah proyek nasional dan adanya 'tujuan'? Fakta bahwa Eritrea bisa mempengaruhi Negara-negara lain di wilayah ini secara positif?"
"Masyarakat internasional, imperialisme, neo-kolonialisme - mereka tidak bisa masuk ke dalam masyarakat apa pun, kecuali masyarakat itu terbelah (tidak bersatu), kecuali masyarakatnya lemah, dan tidak mengerti kemana mereka ingin maju; kecuali mereka tidak memiliki proyek nasional. Proyek nasional menyatukan semua sumber daya alam, para pelaku di dalam negeri, sumber daya manusia, untuk mencapai tingkat perkembangan yang akan meningkatkan standar hidup rakyatnya."
"Seperti di Kuba?"
"Ya, Kuba adalah contoh yang sangat baik! Saya pikir salah satu alasan adanya kesalahpahaman tentang Eritrea ini ada hubungannya dengan sikap kemandirian partai dan warga negara biasa. Hal ini hampir tidak terlihat lagi di mana pun di dunia ini."
Pak Ali mengatakan bahwa banyak negara lain telah berbicara tentang kemandirian, termasuk Tanzania, tapi banyak yang hanya retorika. Eritrea melakukannya. Dan ketika mereka berbicara dengan negara tetangganya, mereka menyadari bahwa dengan pendekatan ini perjalanan memang akan memakan waktu lebih lama, tetapi tetap akan mencapai tujuan dan dengan kondisi/persyaratan yang dibuat oleh Eritrea sendiri.
Dan hal ini lah yang pasti tidak diinginkan oleh Barat.
***
"Eritrea bukanlah negara neo-kolonial. Eritrea adalah sebuah negara merdeka. Eritrea tidak memperbolehkan adanya pangkalan militer asing di negaranya, tidak memperbolehkan adanya kekuatan eksternal di sana. Eritrea punya visi, dan tidak hanya untuk Eritrea, tetapi juga untuk wilayah regionalnya. Mereka juga mendorong adanya kemandirian dan integrasi regional. Negara ini dibangun atas dasar idealisme: 'Mari kita pakai sumber daya kita sendiri, dan mari kita bangun kemerdekaan kita sendiri. Ini berarti mengangkat hajat hidup rakyat Eritrea, terutama yang tinggal di pedesaan. Pendekatan ini, seperti yang dikatakan oleh Chomsky, dianggap oleh pihak Barat sebagai 'apel busuk'."
Saya bertanya lagi kepada Dr. Mohamed Hassan: Sebetulnya apa sih yang paling ditakuti oleh Barat? Efek domino: pengaruh Eritrea pada negara-negara lain di wilayah ini?
"Tentu saja", jawabnya. "Afrika memiliki sekitar 50% dari sumber daya alam dunia... Coba pertimbangkan hal ini: para pemimpin negeri ini - mereka tidak pernah mencuri. Mereka menjalani kehidupan normal, yang juga dijalani rakyat biasa. Tidak ada pemimpin di negara-negara lain di Afrika hidup seperti pemimpin kami di sini. Jika Anda pergi ke negara tetangga kami - Perdana Menteri Ethiopia yang baru saja meninggal meninggalkan harta untuk keluarganya sekitar 8 miliar dolar ".
Saya mengerti apa yang disampaikannya: tidak adanya korupsi juga bisa dianggap sebagai hal yang 'sangat berbahaya'. Bertahun-tahun lalu John Perkins pernah menjelaskan kepada saya bahwa korupsi adalah salah satu alat yang paling efektif yang digunakan oleh Barat dalam usahanya untuk mengendalikan seluruh planet. Mereka memberikan kekuasaan kepada kaum elit untuk kemudian membuat negara-negara tersebut berhutang dan benar-benar dibuat tidak berdaya.
"Eritrea tidak pernah menyerang siapapun. Tapi pandangan-pandangan politik mereka dianggap sangat berbahaya. Dan seperti yang Anda katakan, Eritrea dianggap virus yang mencemari Negara-negara yang jauh lebih besar,” demikian kesimpulan Dr. Hassan.
Pemikir besar Eritrea lainnya, Elias Amare, menambahkan dengan lebih kurang pandangan yang sama:
"Eritrea bersikeras bahwa kemerdekaannya akan merupakan kemerdekaan sejati. Yaitu menekankan pada kemandirian. Namun, sebagai contoh, bukan berarti bahwa Eritrea menolak investasi asing langsung. Bukan demikian. Tapi ketika investasi langsung masuk, Eritrea ingin dengan persyaratan yang lebih adil. Sebagai contoh: Eritrea memiliki sumber daya alam yang sangat besar. Emas, tembaga, zinc, itu hanya beberapa saja. Tapi negara ini tidak ingin meniru apa yang terjadi di Kongo, atau di Zambia. Negara ini ingin kemitraan yang adil. Banyak negara-negara Barat menilai bahwa semua ini tidak menguntungkan bagi mereka. Dan itulah alasan utama mengapa mereka memusuhi Eritrea."
Tapi Elias, pihak Barat juga terus menerus menuduh bahwa Eritrea mendukung gerakan-gerakan teroris di seluruh wilayah regional di sana.
Elias menjawab dengan tegas:
"Hal itu benar-benar tidak berdasar dan tidak benar. Pertama-tama, menimbang bagaimana Eritrea memperoleh kemerdekaannya, negara ini benar-benar menolak adanya ekstremisme agama. Bahkan sebenarnya negara ini dijadikan target oleh kelompok-kelompok ekstremis Islam selama bertahun-tahun. Eritrea adalah sebuah negara sekuler: tidak mencampur politik dengan agama. Hal ini sudah dibuktikan oleh banyak wartawan investigasi yang kredibel, bahwa Asmara tidak pernah mendukung terorisme; tidak pernah mendukung kelompok-kelompok ekstremis Islam, atau kelompok-kelompok ekstremis Kristen."
"Kekuatan-kekuatan politik besar tidak ingin Eritrea dijadikan contoh dan dapat ditiru oleh negara-negara lain di Afrika. Saya katakan lagi disini, Afrika punya sumber daya alam yang sangat besar. Kekuatan-kekuatan besar sekarang berusaha untuk mendapatkan sumber daya tersebut. Apa yang akan terjadi jika pemerintah lain di Afrika mencoba mengikuti contoh Eritrea? Jelas tidak akan bermanfaat bagi kekuatan-kekuatan besar."
***
Pada hari-hari saya berada di Eritrea, saya melihat banyak bendungan dan sistem irigasi, desa-desa bekerja dan membangun cadangan pangan strategis. Saya melihat banyak sekolah, posko kesehatan, dan jalan-jalan baru.
Saya minta mobil berhenti di jalan baru Domhina, beberapa ratus kilometer dari Asmara, dan berbicara dengan beberapa gadis muda yang sedang berjalan kaki di sana. Mereka dari kelas 5 dan 6; ceria, tertawa, dan optimis:
"Di desa kami, kami punya sebuah sekolah dasar, dan sekarang kami sedang berjalan ke sekolah menengah yang terletak di sebuah desa yang lebih besar. Kami berprestasi baik di sekolah; kami senang belajar bahasa Inggris dan matematika.”
Gadis-gadis itu ingin menjadi guru dan dokter, tapi ada satu yang tegas ingin jadi insinyur, agar bisa membangun jembatan, jalan dan jaringan listrik untuk negaranya.
Eritrea masih sangat miskin, tapi negara ini bersih, rapi, dan teratur.
Tingkat kejahatan sangat rendah. Saya berbincang dengan seorang ahli bedah mata dari Laos, Dr. Soukhanthamaly Phonekaseumsouk, yang telah melakukan operasi katarak selama bertahun-tahun di pelosok desa di Eritrea dengan peralatan yang baterainya diisi kembali dengan menggunakan tenaga surya. Secara per kapita, Eritrea merupakan negara nomor 2 di dunia dalam hal penggunaan energi surya. Dokter Soukhanthamaly menjelaskan bahwa dia tidak pernah merasa tidak aman, walaupun tinggal sendirian, baik di desa ataupun di kota; dan dia juga tidak pernah diganggu.
Dr. Ghebrehiwet Mismay, penasihat Menteri Kesehatan, mengajak saya berkunjung ke rumah sakit di Asmara. Rumah sakit yang rapi ini kontras sekali dengan rumah sakit lain yang mengerikan yang telah saya lihat di beberapa negara turbo-kapitalis seperti Kenya dan Uganda.
Di Eritrea, perawatan medis, termasuk obat-obatan, boleh dikatakan hampir gratis. Bangsalnya bersih. Bangsal untuk anak-anak dipenuhi dengan boneka-boneka binatang.
Negara ini secara dramatis telah berhasil mengurangi angka kematian anak melalui program vaksinasi dan terus-menerus meningkatkan perawatan medis.
Cina baru saja menyelesaikan beberapa blok bangunan khusus untuk rumah sakit di Asmara, termasuk untuk pengobatan kanker dan untuk operasi jantung. Beberapa dokter Kuba mengajar dan mengobati pasien di sini.
Proyek perumahan baru terlihat tumbuh di beberapa wilayah ibukota, begitu juga di Massawa dan tempat-tempat lainnya.
Sehari sebelum kepergian saya dari sana, saya bertemu dengan dua orang ahli pendidikan yang bekerja untuk pemerintah, Bp. Tquabo Aimut dan Ibu Mehret Iyob. Mereka menjelaskan kepada saya seberapa serius mereka menangani tingkat literasi orang dewasa di sini.
Saat ini, Eritrea adalah salah satu dari sedikit negara di Afrika yang akan mampu mencapai banyak hal dari Millennium Development Goals (MDGs).
Pada saat mereka memproklamasikan kemerdekaan, harapan hidup hanya mencapai 49 tahun, sedangkan pada sensus terakhir sudah mencapai 63 tahun (sangat tinggi dibandingkan dengan standar Afrika). Pada tahun 1991, tingkat literasi orang dewasa hanya 20% - 30% dan hanya 10% untuk perempuan. Pada tahun 2008, tingkat literasi itu naik menjadi 65% dan pada tahun 2010 menjadi 74%. Di tahun 2015, target mereka (realistis) menjadi 80%.
Kemudian kami membicarakan tentang program-program pasca-literasi dan literasi-fungsional, tetapi di atas semua itu yang paling menarik adalah tentang betapa demokratisnya sistem yang ada di sana. Bukan 'demokratis' dalam persepsi Barat, namun demokratis dalam hal partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan; dalam mengembangkan kurikulum, dan dalam pemblokiran proyek yang tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat.
Kedua kementerian - Kesehatan dan Pendidikan - setuju bahwa walaupun Eritrea berulang kali dipuji oleh beberapa badan PBB, termasuk UNDP dan UNESCO, namun masih sangat sedikit diberitakan di pers Barat yang mainstream.
***
Tentu saja semua ini tidak selalu mulus. Pada suatu malam, saya mengadakan diskusi meja bundar dengan intelektual-intelektual muda. Kami saling mengemukakan pendapat dan berdebat: tentang sosialisme, tentang perjuangan melawan imperialisme, tentang apakah Eritrea harus lebih terlibat; dan tentang apakah negara ini harus lebih dekat dengan negara-negara sosialis atau tidak.
Saya memfilmkan, memotret, dan membuat rekaman.
Saya diperkenalkan kepada Mr. Zemhret Yohannes, Direktur Pusat Riset dan Dokumentasi di PFDJ (Front Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan), dan kami berdiskusi panjang lebar tentang sejarah Eritrea yang bergolak dan tentang hak negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Kami ngobrol sampai malam, sampai pita kaset habis dan kartu memori saya penuh.
Di malam terakhir, saya berbicara di depan satu ruang penuh pengunjung. Saya berbicara di depan intelektual setempat dan pemuda. Beberapa jam sebelumnya, ERI-TV mewawancarai saya.
Semua yang saya lakukan di sana benar-benar interaktif; semua merupakan "proses" besar; tidak ada yang diatur terlebih dahulu, semuanya spontan.
***
Eritrea masih jadi sasaran tembakan; mereka jelas masuk dalam daftar target pihak Barat, karena negara ini melayani rakyatnya, dan karena negara ini menolak untuk membantu Empire dan korporasi dunia.
Pihak Barat menggunakan propaganda beracunnya secara maksimal dalam rangka menodai negara ini.
Mereka juga secara sistematis meningkatkan, membiayai dan menciptakan 'kaum oposisi', seperti yang telah mereka lakukan di seluruh dunia.
Secara berkala, kampanye besar dari BBC dan sumber-sumber propaganda Barat lainnya secara langsung menunjuk ke Asmara.
Misalnya, pada waktu "kudeta" yang tidak pernah ada (Januari 2012), African Strategies berperan sebagai kekuatan menentang yang membantu para patriot di seluruh dunia untuk melawan hujan disinformasi mengenai Asmara dan Pemerintah Eritrea yang disebarkan oleh mereka yang disebut "para ahli".
Pada waktu itu, saluran-saluran berita Barat dan Al-Jazeera melaporkan adanya 'pemberontakan' di ibukota.
Juru kamera setempat yang membantu saya, Pak Azmera, menyimpulkan tentang apa yang terjadi waktu itu:
"Ketika apa yang disebut 'kudeta' itu sedang berlangsung, saya baru saja meninggalkan kompleks kepresidenan, setelah bekerja di sana selama beberapa waktu. Saya berjalan keluar, makan siang... Dan kemudian pada jam 4 sore saya dipanggil dan diberitahu. "Al-Jazeera melaporkan bahwa ada kudeta di Asmara.” Saya hanya mengabaikan mereka dan berjalan pulang."
***
Setelah meliput secara intensif di Eritrea, saya dapat bersaksi dan saya dapat menyimpulkan: negara ini sosialis!
Negara ini sosialis, jika yang diterapkan adalah definisi dari Amerika Latin.
Pada saat yang sama, negara ini sosialis dengan caranya sendiri. Mereka tidak akan pernah mengambil diktat dari siapa pun: dari Barat, atau bahkan dari negara sahabat di Amerika Latin, Afrika Selatan, China atau Rusia.
Eritrea adalah milik rakyatnya sendiri.
Saya telah meliput di 150 negara di dunia, dan saya belum pernah menemukan sebuah bangsa yang seperti ini.
Dalam tiga hari pertama, memang membingungkan. Saya mencoba untuk menempatkan Eritrea dalam sebuah kotak. Kemudian, saya hanya pasrah dan tersenyum... Boleh dibilang, saya lalu menikmati pengalaman saya di sana.
Betapa indahnya negeri ini! Dan betapa kuat, berani, dan ulet yang dipancarkannya!
Ketika pesawat saya lepas landas untuk pergi ke Kairo, pada jam 4 pagi, saya bersenandung dengan hati riang. Saya meninggalkan sebuah negara yang benar-benar saya kagumi.
Di dalam hati, saya merasa jauh lebih kaya daripada ketika saya tiba.
Jika bagi kapitalisme dan imperialisme Barat, semua ini dianggap sebagai sebuah virus – Ebola politik, ekonomi, dan sosial - maka saya siap untuk terinfeksi olehnya, dengan senang hati, lagi dan lagi!
*****
Andre Vltchek adalah seorang novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Hasil liputannya antara lain buku terbarunya: “Fighting Against Western Imperialism”("Berjuang Melawan Imperialisme Barat"). Penerbit Pluto menerbitkan diskusinya dengan Noam Chomsky: On Western Terrorism (Tentang Terorisme Barat). Novel politiknya Point of No Return sudah diedit kembali dan sekarang sudah tersedia. Oceania adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatif tentang Indonesia pasca-Suharto dan sebagai model fundamentalis pasar berjudul “Indonesia – The Archipelago of Fear” sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia “Indonesia – Untaian ketakutan di nusantara”. Film dokumenternya, "Rwanda Gambit" bercerita tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, sekarang ini Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Bahasa Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya .