Terjemahan Terbaru
Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara
Andre Vltchek Terjemahan oleh: Rossie Indira |
Penerbit: Badak Merah Semesta Kontak: [email protected] Telp: 0819-08293177 Harga: Rp. 125.000,- "Vltchek menggambarkan dan menganalisis apa yang telah dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia saat ini: kemiskinan, ketakutan dan penghinaan oleh para elit yang korup dan serakah." - Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Nasional LBH APIK dan mantan anggota DPR RI. |
Counterpunch:
Edisi Akhir Minggu 9-11Januari, 2015
Pihak Barat Memproduksi Monster-monster Muslim
Siapa yang Harus Disalahkan untuk Terorisme Muslim?
Ditulis oleh: ANDRE VLTCHEK
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira
Seratus tahun yang lalu, tak terbayangkan ada dua laki-laki Muslim masuk ke sebuah kafe atau kendaraan angkutan umum, dan kemudian meledakkan diri mereka dan menewaskan puluhan orang. Atau ada pembantaian staf majalah satir di Paris! Hal-hal seperti itu dulu tidak pernah ada.
Ketika Anda membaca memoar Edward Said, atau ngobrol dengan orang-orang tua di Yerusalem Timur, jelas sekali sebagian besar masyarakat Palestina dulunya benar-benar sekuler dan moderat. Mereka lebih peduli tentang kehidupan, budaya, dan bahkan fashion, lebih dari sekedar dogma-dogma agama.
Hal yang sama bisa dikatakan tentang masyarakat Muslim lainnya di dunia, termasuk di Suriah, Irak, Iran, Mesir dan Indonesia. Foto-foto lama menggambarkan hal tersebut. Makanya mengapa sangat penting untuk mempelajari foto-foto lama lagi dan lagi, secara teliti.
Islam bukan hanya agama, tapi juga merupakan budaya yang akbar, salah satu terbesar di muka bumi, yang telah memperkaya kemanusiaan kita dengan banyak prestasi di bidang ilmiah dan menghasilkan karya-karya arsitektur yang penting, dan dengan penemuan yang tak terhitung jumlahnya di bidang kedokteran. Muslim dulu banyak menulis puisi yang menakjubkan, dan menggubah musik yang indah. Tetapi di atas semua itu, mereka mengembangkan beberapa struktur sosial yang paling awal di dunia, termasuk rumah sakit umum yang besar dan universitas pertama di bumi, seperti Universitas al-Qarawiyyin di Fez, Maroko.
Ide ‘sosial’ merupakan hal yang alami untuk banyak politisi Muslim, dan andai pihak Barat tidak ikut campur secara brutal, antara lain dengan menggulingkan pemerintahan-pemerintahan sayap kiri dan menempatkan boneka-boneka sekutu fasis London, Washington dan Paris di tampuk kekuasaan negara-negara itu, maka bisa dipastikan hampir semua negara-negara Muslim, termasuk Iran, Mesir dan Indonesia, mungkin sudah menjadi negara-negara sosialis, dipimpin oleh sekelompok pemimpin yang sangat moderat dan sebagian besar sekuler.
***
Di masa lalu, tidak terhitung pemimpin Muslim yang berdiri melawan kendali pihak Barat di dunia, dan tokoh-tokoh besar seperti misalnya Presiden Indonesia, Ahmed Soekarno, dekat dengan partai dan ideology Komunis. Soekarno bahkan menempa gerakan anti-imperialis global, gerakan Non-Blok, yang jelas-jelas diutarakan di dalam Konferensi Bandung di Indonesia pada tahun 1955.
Hal ini sangat kontras dengan penganut dan elit Kristen konservatif, yang sebagian besar merasa nyaman dengan adanya penguasa fasis dan kolonialis, dengan para raja, pedagang dan oligarki bisnis besar.
Untuk Empire, keberadaan dan popularitas para penguasa Muslim yang progresif, Marxis, yang mengatur wilayah Timur Tengah atau Negara yang kaya dengan sumber daya alam seperti Indonesia, adalah sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat diterima. Jika mereka menggunakan kekayaan alam yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan/kehidupan rakyatnya, apa yang tersisa untuk Empire dan korporasinya? Tentu hal ini harus dihentikan dengan segala cara. Islam harus dipecah belah, dan disusupi dengan kader-kader radikal dan anti-komunis, dan oleh mereka yang tidak peduli dengan kesejahteraan rakyatnya.
***
Hampir semua gerakan radikal Islam sekarang ini, di mana saja di dunia, terikat dengan Wahhabisme, sebuah sekte Islam yang reaksioner dan ultra-konservatif, yang mengendalikan kehidupan politik Arab Saudi, Qatar dan sekutu Barat yang setia lainnya di wilayah Teluk (Timur Tengah).
Mengutip Dr Abdullah Mohammad Sindi:
“Jelas sekali dari catatan sejarah bahwa tanpa bantuan Inggris, Wahhabisme maupun House of Saud tidak akan ada sekarang. Wahhabisme adalah gerakan fundamentalis dalam Islam yang terinspirasi dari Inggris. Melalui pembelaan kepada House of Saud, Amerika Serikat juga mendukung Wahhabisme secara langsung dan tidak langsung, terlepas dari serangan teroris 11 September 2001. Wahhabisme adalah paham yang identik dengan kekerasan, sayap kanan, ultra-konservatif, kaku, ekstremis, reaksioner, seksis, dan tidak toleran ...”
Pihak Barat memberikan dukungan penuh kepada Wahhabi pada tahun 1980-an. Setelah Uni Soviet diseret masuk ke Afghanistan, mereka dipekerjakan, dibiayai dan dipersenjatai untuk berperang melawan Uni Soviet dari tahun 1979 sampai 1989. Hasilnya, Uni Soviet runtuh karena kelelahan, baik secara ekonomi maupun psikologis.
Mujahidin, yang memerangi Soviet dan pemerintahan sayap kiri di Kabul, juga didorong dan dibiayai oleh pihak Barat dan sekutu-sekutunya. Mereka mendatangkan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk berperang dalam ‘Perang Suci’ terhadap orang-orang kafir komunis.
Menurut arsip Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat:
“Pasukan yang disebut Arab Afganistan dan pejuang asing yang ingin melakukan jihad melawan kaum komunis yang ateis. Ada seorang Arab muda di antara mereka yang bernama Osama bin Laden, dengan kelompok Arabnya yang nantinya berkembang menjadi al-Qaeda.”
Kelompok radikal Muslim dibuat dan disuntikkan ke berbagai negara Muslim oleh pihak Barat termasuk al-Qaeda, juga baru-baru ini, ISIS (dikenal juga dengan nama ISIL). ISIS adalah tentara ekstremis yang lahir di ‘kamp-kamp pengungsi’ di perbatasan Suriah/Turki dan Suriah/Yordania, dan yang dibiayai oleh NATO dan pihak Barat untuk memerangi pemerintahan Syria di bawah Bashar al-Assad (yang sekular).
Implan-implan radikal seperti ini telah digunakan untuk beberapa tujuan. Pihak Barat menggunakan mereka sebagai proxy dalam perang mereka melawan musuh-musuhnya - negara-negara yang masih menentang dominasi total Empire di dunia ini. Kemudian, setelah beberapa lama, setelah tentara-tentara ekstremis ini ‘benar-benar sulit dikendalikan’ (dan biasanya demikian), maka mereka bisa dijadikan target dan dibuat sebagai pembenaran untuk melakukan ‘War On Terror’, atau seperti kasus ISIS mengambil alih Mosul, mereka dijadikan sebagai alasan untuk melibatkan kembali pasukan Barat di Irak.
Cerita tentang kelompok-kelompok Muslim radikal terus diberitakan di halaman-halaman depan surat kabar dan majalah, atau ditampilkan pada monitor televisi, untuk mengingatkan pembaca dan penonton betapa ‘berbahayanya dunia’ dan ‘betapa pentingnya keterlibatan pihak Barat di dalamnya’, dan konsekuensinya adalah betapa pentingnya untuk melakukan pengawasan, bagaimana perlunya langkah-langkah keamanan yang harus diambil, dan anggaran ‘pertahanan’ yang amat besar, serta perang terus menerus melawan negara-negara yang tidak mau ikut dalam kendali Barat.
***
Dari peradaban yang damai dan kreatif, yang dulu condong ke sosialisme, negara-negara Muslim dan bahkan Islam itu sendiri, tiba-tiba menemukan dirinya sudah tergelincir, ditipu, dikalahkan, disusupi oleh implan agama dan ideologi asing, dan diubah oleh ideolog dan propagandis Barat menjadi satu ‘ancaman luar biasa’, dan dijadikan sebagai puncak dan simbol terorisme dan intoleransi.
Situasinya menjadi benar-benar tidak masuk akal, tapi tidak ada satupun yang tertawa karena hasilnya sudah terlalu banyak yang mati; sudah terlalu banyak yang hancur!
Indonesia merupakan salah satu contoh sejarah yang paling menyolok dari sebuah mekanisme bagaimana sebenarnya kerja dari penghancuran nilai-nilai Islam yang progresif:
Pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Barat pada umumnya, semakin lama semakin 'prihatin' dengan sikap anti- imperialis dan internasionalis dari Presiden Soekarno yang progressif, juga dengan meningkatnya popularitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi mereka lebih cemas dengan kaum sosialis dan Islam moderate yang lebih tercerahkan, yang jelas-jelas sesuai dengan cita-cita komunis.
Para ideolog dan 'perencana' Kristen yang anti - komunis, termasuk Pastor Jesuit terkenal, Joop Beek, yang menyusup ke Indonesia. Mereka mendirikan organisasi klandestin di sana, mulai dari yang bersifat ideologis sampai ke pasukan paramiliter, untuk membantu pihak Barat merencanakan kudeta di tahun 1965 dan setelahnya dengan korban antara 1-3 juta nyawa manusia.
Propaganda yang direncanakan di Barat, yang kemudian disebarkan oleh Pater Joop Beek dan pengikutnya, ,sangat efektif anti - komunis dan anti - intelektual serta membantu untuk mencuci otak banyak anggota organisasi-organisasi Muslim yang besar, untuk kemudian mendorong mereka bergabung melakukan pembunuhan massal kaum kiri segera setelah kudeta. Sedikit dari mereka yang tahu bahwa Islam, bukan hanya Komunisme, telah dipilih sebagai target utama ‘kolom ke-lima’ Kristen yang pro - Barat di dalam Indonesia, atau lebih tepatnya, target utamanya adalah Islam yang condong ke kiri, yang liberal.
Setelah kudeta di tahun 1965, diktator fasis yang disponsori pihak Barat, Jenderal Soeharto, menggunakan Joop Beek sebagai salah satu penasihat utamanya. Secara ideologis, dia juga mengandalkan 'murid-murid' Beek. Secara ekonomi, rezim ini mengkaitkan dirinya terutama dengan taipan bisnis Kristen, termasuk Liem Bian Kie.
Di negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia, umat dipinggirkan, partai-partai politik mereka yang tidak dapat diandalkan dilarang selama masa kediktatoran, dan secara politik (diam-diam) dan ekonomi (terang-terangan) dikendalikan dengan ketat oleh kaum minoritas Kristen yang pro - Barat. Sampai sekarang, kaum minoritas ini punya jejaring prajurit anti - komunis yang kompleks dan sangat berbahaya, kartel bisnis dan mafia yang kait-mengkait, media dan 'tempat-tempat pendidikan' termasuk sekolah-sekolah swasta yang berdasarkan agama, serta para pengkhotbah yang korup (banyak berperan dalam pembantaian di tahun 1965), dan kolaborator-kolaborator lainnya baik dengan rezim lokal maupun global.
Islam di Indonesia telah direduksi menjadi silent majority (kaum mayoritas yang diam), kebanyakan dari mereka miskin dan tidak punya pengaruh yang signifikan. Mereka hanya menjadi berita utama secara internasional ketika para militannya yang memakai jubah putih dan frustrasi pergi menghancurkan bar-bar, atau ketika kaum ekstremisnya, yang banyak terkait dengan kaum Mujahidin dan Perang Soviet - Afganistan, meledakkan klub-klub malam, hotel atau restoran di Bali dan Jakarta.
Atau apakah benar mereka yang melakukan itu?
Mantan Presiden Indonesia yang juga ulama Muslim yang progresif, Abdurrahman Wahid (dipaksa turun dari jabatannya sebagai Presiden), pernah mengatakan kepada saya : “Saya tahu siapa yang meledakkan Hotel Marriott di Jakarta. Bukan kelompok Islam. Hal itu dilakukan oleh dinas rahasia Indonesia untuk memberikan pembenaran (legitimasi) atas keberadaan dan anggaran mereka, dan tentunya untuk menyenangkan pihak Barat.”
***
“Menurut pendapat saya, imperialisme Barat tidak begitu banyak menjalin aliansi dengan faksi radikal, lebih kepada menciptakan mereka", kata teman saya seorang pemimpin intelektual Muslim progresif, Ziauddin Sardar kepada saya di London. Dia melanjutkan:
“Kita perlu menyadari bahwa yang dilakukan oleh kolonialisme sudah lebih dari sekedar merusak bangsa dan budaya Muslim. Mereka memainkan peranan utama dalam penindasan dan pada akhirnya menghilangnya pengetahuan dan pembelajaran, pemikiran dan kreativitas, dari budaya Muslim. Perkenalan dengan kolonial dimulai dari pengambil-alihan pengetahuan dan pembelajaran Islam yang kemudian menjadi dasar dari 'Renaissance Eropa' dan 'Pencerahan', dan diakhiri dengan pemberantasan pengetahuan dan pembelajaran baik dari masyarakat Muslim maupun dari sejarah itu sendiri. Mereka melakukannya baik dengan secara fisik menghilangkan - menghancurkan dan menutup institusi pembelajaran, melarang beberapa jenis kearifan lokal, membunuh para pemikir lokal dan ulama - dan dengan menulis ulang sejarah sebagai sejarah peradaban Barat di mana semua sejarah peradaban kecil lainnya dimasukkan.”
Betapa sebuah perjalanan panjang dan mengerikan, mulai dari adanya harapan baru di tahun-tahun pasca Perang Dunia II sampai dengan kondisi yang amat suram sekarang ini!
Dunia Muslim kini terluka, terhina dan bingung, dan hampir selalu dalam keadaan defensif.
Orang luar sering salah paham mengenai dunia Muslim, bahkan seringkali oleh orang-orang Muslim sendiri, terutama mereka yang sering terpaksa mengandalkan pandangan-pandangan pihak Barat dan Kristen di dunia.
Apa yang pernah membuat budaya Islam begitu menarik - toleransi, pembelajaran, perhatian kepada kesejahteraan rakyat - telah diamputasi/dilepaskan dari dunia/kalangan Muslim, dihancurkan oleh dunia di luar mereka. Yang tersisa hanyalah agama.
Sekarang, sebagian besar negara-negara Muslim diperintah oleh para penguasa lalim, oleh kelompok militer atau oleh kelompok yang korup. Semua itu terkait erat dengan pihak Barat serta rezim dan kepentingan globalnya.
Sama seperti yang mereka lakukan di beberapa negara besar di Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Afrika, para penakluk dan penjajah Barat benar-benar berhasil memusnahkan budaya Muslim yang agung.
Yang dipaksa untuk menggantinya adalah keserakahan, korupsi dan kebrutalan .
Tampaknya segala sesuatu yang dasar-dasarnya berbeda dan bukan Kristen telah dijadikan butiran debu saja oleh Empire. Hanya budaya-budaya yang paling agung dan paling kuat saja yang masih bisa bertahan.
Setiap kali sebuah negara Muslim mencoba untuk kembali ke esensinya, untuk berjalan dengan caranya sendiri, dengan cara sosialis atau yang berorientasi sosial - baik itu Iran, Mesir, Indonesia, atau yang baru-baru ini seperti Irak, Libya atau Suriah – maka mereka akan disiksa dan dihancurkan secara kejam.
Keinginan rakyat akan begitu saja dihancurkan, dan pemerintahan pilihan mereka yang dinyatakan secara demokratis digulingkan.
Selama puluhan tahun, Palestina tidak diberikan kebebasan, juga tidak diberikan hak-hak asasi manusia yang mendasar. Baik Israel maupun Empire hanya mencibir ketika mereka menuntut haknya untuk menentukan nasib sendiri. Rakyat Palestina dikunci di dalam ghetto-ghetto (kampung-kampung kumuh di kota), dipermalukan, dan dibunuh. Bagi mereka, agama adalah satu-satunya yang mereka miliki.
Gerakan ‘Arab Spring’ sudah dibelokkan dan dihentikan hampir di mana-mana, mulai dari Mesir sampai ke Bahrain, dan rezim-rezim lama dan militer kembali berkuasa.
Seperti yang terjadi dengan rakyat di Afrika, Muslim membayar harga yang amat mahal karena dilahirkan di negara-negara yang kaya dengan sumber daya alam. Tapi seperti juga China, mereka dihancurkan secara brutal karena mereka mempunyai peradaban yang paling agung dalam sejarah, yang lebih baik dari semua budaya Barat.
***
Agama Kristen menjarah dan menghancurkan dunia. Islam, dengan Sultan-sultannya yang akbar seperti misalnya Sultan Saladin, berdiri gagah melawan penjajah, membela kota-kota besar seperti Aleppo dan Damaskus, Kairo dan Yerusalem. Tapi secara keseluruhan, Islam lebih tertarik untuk membangun peradaban yang agung daripada menjarah dan berperang.
Sekarang ini hampir tidak ada lagi orang di Barat yang tahu tentang Sultan Saladin atau tentang pencapaian dunia Muslim dalam prestasi ilmiah, seni atau sosial yang besar. Tapi semua orang ‘punya informasi’ tentang ISIS. Tentu saja yang mereka tahu tentang ISIS hanyalah sebagai 'kelompok ekstremis Islam', bukan sebagai salah satu alat utama yang digunakan oleh Barat untuk mengacaukan Timur Tengah.
Ketika ‘Perancis berkabung’ untuk kematian wartawan Charlie Hebdo di kantor sebuah majalah satir (tentu saja tak dapat disangkal bahwa ini adalah kejahatan yang mengerikan!), di seluruh Eropa lagi-lagi Islam yang digambarkan sebagai brutal dan militan, bukan pihak Barat dengan doktrin-doktrin pasca - Perang Salib, dan fundamentalis Kristen yang terus menerus menggulingkan dan membantai pemerintahan dan sistem yang moderat, sekuler dan progresif di dunia Muslim, dan menyerahkan hajat hidup penganut Muslim pada kaum fanatik yang tidak waras.
***
Dalam lima dekade terakhir, sekitar 10 juta Muslim telah dibunuh karena negara mereka tidak melayani Empire, atau tidak melayani mereka dengan sepenuh hati, atau hanya karena mereka menghalangi jalan saja. Korban-korbannya adalah rakyat Indonesia, Irak, Aljazair, Afghanistan, Pakistan, Iran, Yaman, Suriah, Lebanon, Mesir, Mali, Somalia, Bahrain dan banyak negara lainnya.
Pihak Barat mengidentifikasi monster-monster paling mengerikan di dunia, memberikan dana milyaran dolar kepada mereka, mempersenjatai mereka, memberikan pelatihan militer yang canggih kepada mereka, dan kemudian membiarkan mereka lepas begitu saja di dunia.
Negara-negara yang mengembang-bikakkan terorisme, Arab Saudi dan Qatar, adalah beberapa sekutu Barat yang paling dekat, dan mereka tidak pernah dihukum karena mengekspor horor ke seluruh dunia Muslim.
Gerakan Muslim besar yang berorientasi sosial seperti Hizbullah, yang saat ini terlibat dalam pertempuran habis-habisan melawan ISIS, yang juga pernah memperkuat Lebanon dalam perangnya melawan invasi Israel, malah berada dalam ‘daftar teroris’ yang disusun oleh pihak Barat. Kalau kita perhatikan, tentu hal ini dapat menjelaskan banyak persoalan yang ada di dunia Muslim.
Dilihat dari sisi Timur Tengah, tampaknya pihak Barat, seperti juga yang terjadi dalam Perang Salib, mempunyai tujuan untuk menghancurkan negara-negara Muslim dan budaya Muslim secara mutlak.
Sedangkan untuk agama Islam, Empire hanya menerima faksi yang ringan-ringan saja, yaitu faksi yang menerima kapitalisme ekstrim dan posisi global pihak Barat yang dominan. Satu-satunya bentuk Islam lain yang dapat ditolerir oleh Barat adalah yang diproduksi oleh pihak Barat sendiri, dan oleh sekutu-sekutunya di kawasan Teluk, yaitu yang sudah mereka tunjuk untuk melawan kemajuan dan keadilan sosial, satu bentuk yang memakan pengikutnya sendiri.
*****
Link esai aslinya:
The West Manufacturing Muslim Monsters
Who Should be Blamed for Muslim Terrorism?
*****
Edisi Akhir Minggu 9-11Januari, 2015
Pihak Barat Memproduksi Monster-monster Muslim
Siapa yang Harus Disalahkan untuk Terorisme Muslim?
Ditulis oleh: ANDRE VLTCHEK
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira
Seratus tahun yang lalu, tak terbayangkan ada dua laki-laki Muslim masuk ke sebuah kafe atau kendaraan angkutan umum, dan kemudian meledakkan diri mereka dan menewaskan puluhan orang. Atau ada pembantaian staf majalah satir di Paris! Hal-hal seperti itu dulu tidak pernah ada.
Ketika Anda membaca memoar Edward Said, atau ngobrol dengan orang-orang tua di Yerusalem Timur, jelas sekali sebagian besar masyarakat Palestina dulunya benar-benar sekuler dan moderat. Mereka lebih peduli tentang kehidupan, budaya, dan bahkan fashion, lebih dari sekedar dogma-dogma agama.
Hal yang sama bisa dikatakan tentang masyarakat Muslim lainnya di dunia, termasuk di Suriah, Irak, Iran, Mesir dan Indonesia. Foto-foto lama menggambarkan hal tersebut. Makanya mengapa sangat penting untuk mempelajari foto-foto lama lagi dan lagi, secara teliti.
Islam bukan hanya agama, tapi juga merupakan budaya yang akbar, salah satu terbesar di muka bumi, yang telah memperkaya kemanusiaan kita dengan banyak prestasi di bidang ilmiah dan menghasilkan karya-karya arsitektur yang penting, dan dengan penemuan yang tak terhitung jumlahnya di bidang kedokteran. Muslim dulu banyak menulis puisi yang menakjubkan, dan menggubah musik yang indah. Tetapi di atas semua itu, mereka mengembangkan beberapa struktur sosial yang paling awal di dunia, termasuk rumah sakit umum yang besar dan universitas pertama di bumi, seperti Universitas al-Qarawiyyin di Fez, Maroko.
Ide ‘sosial’ merupakan hal yang alami untuk banyak politisi Muslim, dan andai pihak Barat tidak ikut campur secara brutal, antara lain dengan menggulingkan pemerintahan-pemerintahan sayap kiri dan menempatkan boneka-boneka sekutu fasis London, Washington dan Paris di tampuk kekuasaan negara-negara itu, maka bisa dipastikan hampir semua negara-negara Muslim, termasuk Iran, Mesir dan Indonesia, mungkin sudah menjadi negara-negara sosialis, dipimpin oleh sekelompok pemimpin yang sangat moderat dan sebagian besar sekuler.
***
Di masa lalu, tidak terhitung pemimpin Muslim yang berdiri melawan kendali pihak Barat di dunia, dan tokoh-tokoh besar seperti misalnya Presiden Indonesia, Ahmed Soekarno, dekat dengan partai dan ideology Komunis. Soekarno bahkan menempa gerakan anti-imperialis global, gerakan Non-Blok, yang jelas-jelas diutarakan di dalam Konferensi Bandung di Indonesia pada tahun 1955.
Hal ini sangat kontras dengan penganut dan elit Kristen konservatif, yang sebagian besar merasa nyaman dengan adanya penguasa fasis dan kolonialis, dengan para raja, pedagang dan oligarki bisnis besar.
Untuk Empire, keberadaan dan popularitas para penguasa Muslim yang progresif, Marxis, yang mengatur wilayah Timur Tengah atau Negara yang kaya dengan sumber daya alam seperti Indonesia, adalah sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat diterima. Jika mereka menggunakan kekayaan alam yang mereka miliki untuk meningkatkan kesejahteraan/kehidupan rakyatnya, apa yang tersisa untuk Empire dan korporasinya? Tentu hal ini harus dihentikan dengan segala cara. Islam harus dipecah belah, dan disusupi dengan kader-kader radikal dan anti-komunis, dan oleh mereka yang tidak peduli dengan kesejahteraan rakyatnya.
***
Hampir semua gerakan radikal Islam sekarang ini, di mana saja di dunia, terikat dengan Wahhabisme, sebuah sekte Islam yang reaksioner dan ultra-konservatif, yang mengendalikan kehidupan politik Arab Saudi, Qatar dan sekutu Barat yang setia lainnya di wilayah Teluk (Timur Tengah).
Mengutip Dr Abdullah Mohammad Sindi:
“Jelas sekali dari catatan sejarah bahwa tanpa bantuan Inggris, Wahhabisme maupun House of Saud tidak akan ada sekarang. Wahhabisme adalah gerakan fundamentalis dalam Islam yang terinspirasi dari Inggris. Melalui pembelaan kepada House of Saud, Amerika Serikat juga mendukung Wahhabisme secara langsung dan tidak langsung, terlepas dari serangan teroris 11 September 2001. Wahhabisme adalah paham yang identik dengan kekerasan, sayap kanan, ultra-konservatif, kaku, ekstremis, reaksioner, seksis, dan tidak toleran ...”
Pihak Barat memberikan dukungan penuh kepada Wahhabi pada tahun 1980-an. Setelah Uni Soviet diseret masuk ke Afghanistan, mereka dipekerjakan, dibiayai dan dipersenjatai untuk berperang melawan Uni Soviet dari tahun 1979 sampai 1989. Hasilnya, Uni Soviet runtuh karena kelelahan, baik secara ekonomi maupun psikologis.
Mujahidin, yang memerangi Soviet dan pemerintahan sayap kiri di Kabul, juga didorong dan dibiayai oleh pihak Barat dan sekutu-sekutunya. Mereka mendatangkan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk berperang dalam ‘Perang Suci’ terhadap orang-orang kafir komunis.
Menurut arsip Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat:
“Pasukan yang disebut Arab Afganistan dan pejuang asing yang ingin melakukan jihad melawan kaum komunis yang ateis. Ada seorang Arab muda di antara mereka yang bernama Osama bin Laden, dengan kelompok Arabnya yang nantinya berkembang menjadi al-Qaeda.”
Kelompok radikal Muslim dibuat dan disuntikkan ke berbagai negara Muslim oleh pihak Barat termasuk al-Qaeda, juga baru-baru ini, ISIS (dikenal juga dengan nama ISIL). ISIS adalah tentara ekstremis yang lahir di ‘kamp-kamp pengungsi’ di perbatasan Suriah/Turki dan Suriah/Yordania, dan yang dibiayai oleh NATO dan pihak Barat untuk memerangi pemerintahan Syria di bawah Bashar al-Assad (yang sekular).
Implan-implan radikal seperti ini telah digunakan untuk beberapa tujuan. Pihak Barat menggunakan mereka sebagai proxy dalam perang mereka melawan musuh-musuhnya - negara-negara yang masih menentang dominasi total Empire di dunia ini. Kemudian, setelah beberapa lama, setelah tentara-tentara ekstremis ini ‘benar-benar sulit dikendalikan’ (dan biasanya demikian), maka mereka bisa dijadikan target dan dibuat sebagai pembenaran untuk melakukan ‘War On Terror’, atau seperti kasus ISIS mengambil alih Mosul, mereka dijadikan sebagai alasan untuk melibatkan kembali pasukan Barat di Irak.
Cerita tentang kelompok-kelompok Muslim radikal terus diberitakan di halaman-halaman depan surat kabar dan majalah, atau ditampilkan pada monitor televisi, untuk mengingatkan pembaca dan penonton betapa ‘berbahayanya dunia’ dan ‘betapa pentingnya keterlibatan pihak Barat di dalamnya’, dan konsekuensinya adalah betapa pentingnya untuk melakukan pengawasan, bagaimana perlunya langkah-langkah keamanan yang harus diambil, dan anggaran ‘pertahanan’ yang amat besar, serta perang terus menerus melawan negara-negara yang tidak mau ikut dalam kendali Barat.
***
Dari peradaban yang damai dan kreatif, yang dulu condong ke sosialisme, negara-negara Muslim dan bahkan Islam itu sendiri, tiba-tiba menemukan dirinya sudah tergelincir, ditipu, dikalahkan, disusupi oleh implan agama dan ideologi asing, dan diubah oleh ideolog dan propagandis Barat menjadi satu ‘ancaman luar biasa’, dan dijadikan sebagai puncak dan simbol terorisme dan intoleransi.
Situasinya menjadi benar-benar tidak masuk akal, tapi tidak ada satupun yang tertawa karena hasilnya sudah terlalu banyak yang mati; sudah terlalu banyak yang hancur!
Indonesia merupakan salah satu contoh sejarah yang paling menyolok dari sebuah mekanisme bagaimana sebenarnya kerja dari penghancuran nilai-nilai Islam yang progresif:
Pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara Barat pada umumnya, semakin lama semakin 'prihatin' dengan sikap anti- imperialis dan internasionalis dari Presiden Soekarno yang progressif, juga dengan meningkatnya popularitas Partai Komunis Indonesia (PKI). Tapi mereka lebih cemas dengan kaum sosialis dan Islam moderate yang lebih tercerahkan, yang jelas-jelas sesuai dengan cita-cita komunis.
Para ideolog dan 'perencana' Kristen yang anti - komunis, termasuk Pastor Jesuit terkenal, Joop Beek, yang menyusup ke Indonesia. Mereka mendirikan organisasi klandestin di sana, mulai dari yang bersifat ideologis sampai ke pasukan paramiliter, untuk membantu pihak Barat merencanakan kudeta di tahun 1965 dan setelahnya dengan korban antara 1-3 juta nyawa manusia.
Propaganda yang direncanakan di Barat, yang kemudian disebarkan oleh Pater Joop Beek dan pengikutnya, ,sangat efektif anti - komunis dan anti - intelektual serta membantu untuk mencuci otak banyak anggota organisasi-organisasi Muslim yang besar, untuk kemudian mendorong mereka bergabung melakukan pembunuhan massal kaum kiri segera setelah kudeta. Sedikit dari mereka yang tahu bahwa Islam, bukan hanya Komunisme, telah dipilih sebagai target utama ‘kolom ke-lima’ Kristen yang pro - Barat di dalam Indonesia, atau lebih tepatnya, target utamanya adalah Islam yang condong ke kiri, yang liberal.
Setelah kudeta di tahun 1965, diktator fasis yang disponsori pihak Barat, Jenderal Soeharto, menggunakan Joop Beek sebagai salah satu penasihat utamanya. Secara ideologis, dia juga mengandalkan 'murid-murid' Beek. Secara ekonomi, rezim ini mengkaitkan dirinya terutama dengan taipan bisnis Kristen, termasuk Liem Bian Kie.
Di negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia, umat dipinggirkan, partai-partai politik mereka yang tidak dapat diandalkan dilarang selama masa kediktatoran, dan secara politik (diam-diam) dan ekonomi (terang-terangan) dikendalikan dengan ketat oleh kaum minoritas Kristen yang pro - Barat. Sampai sekarang, kaum minoritas ini punya jejaring prajurit anti - komunis yang kompleks dan sangat berbahaya, kartel bisnis dan mafia yang kait-mengkait, media dan 'tempat-tempat pendidikan' termasuk sekolah-sekolah swasta yang berdasarkan agama, serta para pengkhotbah yang korup (banyak berperan dalam pembantaian di tahun 1965), dan kolaborator-kolaborator lainnya baik dengan rezim lokal maupun global.
Islam di Indonesia telah direduksi menjadi silent majority (kaum mayoritas yang diam), kebanyakan dari mereka miskin dan tidak punya pengaruh yang signifikan. Mereka hanya menjadi berita utama secara internasional ketika para militannya yang memakai jubah putih dan frustrasi pergi menghancurkan bar-bar, atau ketika kaum ekstremisnya, yang banyak terkait dengan kaum Mujahidin dan Perang Soviet - Afganistan, meledakkan klub-klub malam, hotel atau restoran di Bali dan Jakarta.
Atau apakah benar mereka yang melakukan itu?
Mantan Presiden Indonesia yang juga ulama Muslim yang progresif, Abdurrahman Wahid (dipaksa turun dari jabatannya sebagai Presiden), pernah mengatakan kepada saya : “Saya tahu siapa yang meledakkan Hotel Marriott di Jakarta. Bukan kelompok Islam. Hal itu dilakukan oleh dinas rahasia Indonesia untuk memberikan pembenaran (legitimasi) atas keberadaan dan anggaran mereka, dan tentunya untuk menyenangkan pihak Barat.”
***
“Menurut pendapat saya, imperialisme Barat tidak begitu banyak menjalin aliansi dengan faksi radikal, lebih kepada menciptakan mereka", kata teman saya seorang pemimpin intelektual Muslim progresif, Ziauddin Sardar kepada saya di London. Dia melanjutkan:
“Kita perlu menyadari bahwa yang dilakukan oleh kolonialisme sudah lebih dari sekedar merusak bangsa dan budaya Muslim. Mereka memainkan peranan utama dalam penindasan dan pada akhirnya menghilangnya pengetahuan dan pembelajaran, pemikiran dan kreativitas, dari budaya Muslim. Perkenalan dengan kolonial dimulai dari pengambil-alihan pengetahuan dan pembelajaran Islam yang kemudian menjadi dasar dari 'Renaissance Eropa' dan 'Pencerahan', dan diakhiri dengan pemberantasan pengetahuan dan pembelajaran baik dari masyarakat Muslim maupun dari sejarah itu sendiri. Mereka melakukannya baik dengan secara fisik menghilangkan - menghancurkan dan menutup institusi pembelajaran, melarang beberapa jenis kearifan lokal, membunuh para pemikir lokal dan ulama - dan dengan menulis ulang sejarah sebagai sejarah peradaban Barat di mana semua sejarah peradaban kecil lainnya dimasukkan.”
Betapa sebuah perjalanan panjang dan mengerikan, mulai dari adanya harapan baru di tahun-tahun pasca Perang Dunia II sampai dengan kondisi yang amat suram sekarang ini!
Dunia Muslim kini terluka, terhina dan bingung, dan hampir selalu dalam keadaan defensif.
Orang luar sering salah paham mengenai dunia Muslim, bahkan seringkali oleh orang-orang Muslim sendiri, terutama mereka yang sering terpaksa mengandalkan pandangan-pandangan pihak Barat dan Kristen di dunia.
Apa yang pernah membuat budaya Islam begitu menarik - toleransi, pembelajaran, perhatian kepada kesejahteraan rakyat - telah diamputasi/dilepaskan dari dunia/kalangan Muslim, dihancurkan oleh dunia di luar mereka. Yang tersisa hanyalah agama.
Sekarang, sebagian besar negara-negara Muslim diperintah oleh para penguasa lalim, oleh kelompok militer atau oleh kelompok yang korup. Semua itu terkait erat dengan pihak Barat serta rezim dan kepentingan globalnya.
Sama seperti yang mereka lakukan di beberapa negara besar di Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Afrika, para penakluk dan penjajah Barat benar-benar berhasil memusnahkan budaya Muslim yang agung.
Yang dipaksa untuk menggantinya adalah keserakahan, korupsi dan kebrutalan .
Tampaknya segala sesuatu yang dasar-dasarnya berbeda dan bukan Kristen telah dijadikan butiran debu saja oleh Empire. Hanya budaya-budaya yang paling agung dan paling kuat saja yang masih bisa bertahan.
Setiap kali sebuah negara Muslim mencoba untuk kembali ke esensinya, untuk berjalan dengan caranya sendiri, dengan cara sosialis atau yang berorientasi sosial - baik itu Iran, Mesir, Indonesia, atau yang baru-baru ini seperti Irak, Libya atau Suriah – maka mereka akan disiksa dan dihancurkan secara kejam.
Keinginan rakyat akan begitu saja dihancurkan, dan pemerintahan pilihan mereka yang dinyatakan secara demokratis digulingkan.
Selama puluhan tahun, Palestina tidak diberikan kebebasan, juga tidak diberikan hak-hak asasi manusia yang mendasar. Baik Israel maupun Empire hanya mencibir ketika mereka menuntut haknya untuk menentukan nasib sendiri. Rakyat Palestina dikunci di dalam ghetto-ghetto (kampung-kampung kumuh di kota), dipermalukan, dan dibunuh. Bagi mereka, agama adalah satu-satunya yang mereka miliki.
Gerakan ‘Arab Spring’ sudah dibelokkan dan dihentikan hampir di mana-mana, mulai dari Mesir sampai ke Bahrain, dan rezim-rezim lama dan militer kembali berkuasa.
Seperti yang terjadi dengan rakyat di Afrika, Muslim membayar harga yang amat mahal karena dilahirkan di negara-negara yang kaya dengan sumber daya alam. Tapi seperti juga China, mereka dihancurkan secara brutal karena mereka mempunyai peradaban yang paling agung dalam sejarah, yang lebih baik dari semua budaya Barat.
***
Agama Kristen menjarah dan menghancurkan dunia. Islam, dengan Sultan-sultannya yang akbar seperti misalnya Sultan Saladin, berdiri gagah melawan penjajah, membela kota-kota besar seperti Aleppo dan Damaskus, Kairo dan Yerusalem. Tapi secara keseluruhan, Islam lebih tertarik untuk membangun peradaban yang agung daripada menjarah dan berperang.
Sekarang ini hampir tidak ada lagi orang di Barat yang tahu tentang Sultan Saladin atau tentang pencapaian dunia Muslim dalam prestasi ilmiah, seni atau sosial yang besar. Tapi semua orang ‘punya informasi’ tentang ISIS. Tentu saja yang mereka tahu tentang ISIS hanyalah sebagai 'kelompok ekstremis Islam', bukan sebagai salah satu alat utama yang digunakan oleh Barat untuk mengacaukan Timur Tengah.
Ketika ‘Perancis berkabung’ untuk kematian wartawan Charlie Hebdo di kantor sebuah majalah satir (tentu saja tak dapat disangkal bahwa ini adalah kejahatan yang mengerikan!), di seluruh Eropa lagi-lagi Islam yang digambarkan sebagai brutal dan militan, bukan pihak Barat dengan doktrin-doktrin pasca - Perang Salib, dan fundamentalis Kristen yang terus menerus menggulingkan dan membantai pemerintahan dan sistem yang moderat, sekuler dan progresif di dunia Muslim, dan menyerahkan hajat hidup penganut Muslim pada kaum fanatik yang tidak waras.
***
Dalam lima dekade terakhir, sekitar 10 juta Muslim telah dibunuh karena negara mereka tidak melayani Empire, atau tidak melayani mereka dengan sepenuh hati, atau hanya karena mereka menghalangi jalan saja. Korban-korbannya adalah rakyat Indonesia, Irak, Aljazair, Afghanistan, Pakistan, Iran, Yaman, Suriah, Lebanon, Mesir, Mali, Somalia, Bahrain dan banyak negara lainnya.
Pihak Barat mengidentifikasi monster-monster paling mengerikan di dunia, memberikan dana milyaran dolar kepada mereka, mempersenjatai mereka, memberikan pelatihan militer yang canggih kepada mereka, dan kemudian membiarkan mereka lepas begitu saja di dunia.
Negara-negara yang mengembang-bikakkan terorisme, Arab Saudi dan Qatar, adalah beberapa sekutu Barat yang paling dekat, dan mereka tidak pernah dihukum karena mengekspor horor ke seluruh dunia Muslim.
Gerakan Muslim besar yang berorientasi sosial seperti Hizbullah, yang saat ini terlibat dalam pertempuran habis-habisan melawan ISIS, yang juga pernah memperkuat Lebanon dalam perangnya melawan invasi Israel, malah berada dalam ‘daftar teroris’ yang disusun oleh pihak Barat. Kalau kita perhatikan, tentu hal ini dapat menjelaskan banyak persoalan yang ada di dunia Muslim.
Dilihat dari sisi Timur Tengah, tampaknya pihak Barat, seperti juga yang terjadi dalam Perang Salib, mempunyai tujuan untuk menghancurkan negara-negara Muslim dan budaya Muslim secara mutlak.
Sedangkan untuk agama Islam, Empire hanya menerima faksi yang ringan-ringan saja, yaitu faksi yang menerima kapitalisme ekstrim dan posisi global pihak Barat yang dominan. Satu-satunya bentuk Islam lain yang dapat ditolerir oleh Barat adalah yang diproduksi oleh pihak Barat sendiri, dan oleh sekutu-sekutunya di kawasan Teluk, yaitu yang sudah mereka tunjuk untuk melawan kemajuan dan keadilan sosial, satu bentuk yang memakan pengikutnya sendiri.
*****
Link esai aslinya:
The West Manufacturing Muslim Monsters
Who Should be Blamed for Muslim Terrorism?
*****
Andre Vltchek adalah seorang novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Hasil liputannya antara lain buku terbarunya: “Fighting Against Western Imperialism”("Berjuang Melawan Imperialisme Barat"). Penerbit Pluto menerbitkan diskusinya dengan Noam Chomsky: On Western Terrorism (Tentang Terorisme Barat). Novel politiknya Point of No Return sudah diedit kembali dan sekarang sudah tersedia. Oceania adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatif tentang Indonesia pasca-Suharto dan sebagai model fundamentalis pasar berjudul “Indonesia – The Archipelago of Fear” sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia “Indonesia – Untaian ketakutan di nusantara”. Film dokumenternya, "Rwanda Gambit" bercerita tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, sekarang ini Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya .