Terjemahan Terbaru
Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara
Andre Vltchek Terjemahan oleh: Rossie Indira |
Penerbit: Badak Merah Semesta Kontak: [email protected] Telp: 0819-08293177 Harga: Rp. 125.000,- "Vltchek menggambarkan dan menganalisis apa yang telah dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia saat ini: kemiskinan, ketakutan dan penghinaan oleh para elit yang korup dan serakah." - Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Nasional LBH APIK dan mantan anggota DPR RI. |
Counterpunch:
Edisi Akhir Minggu
Genosida di Kashmir
AIB INDIA
Ditulis oleh: ANDRE VLTCHEK
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira
Selamat datang di Kashmir! Di tengah musim dingin. Gunung-gunung yang tertutup salju dan pepohonan tanpa daun di atas danau saat matahari terbenam terlihat melankolis dan megah, tepat seperti lukisan khas China.
Selamat Datang di negara bagian yang dikuasai oleh 700.000 pasukan keamanan dari pemerintahan pendudukan - India. Selamat Datang di tempat yang dimana-mana ditemui pagar-pagar dengan kawat berduri, pasukan-pasukan militer, dan ‘pemeriksaan keamanan’ (security checks). Selamat Datang di tempat yang penuh dengan kebrutalan yang tak terbayangkan hampir di mana pun di muka bumi!
Selamat Datang di tanah tempat latihan gabungan militer Amerika Serikat, Israel dan India.
Kashmir! Masih indah tapi penuh dengan parut/bekas luka. Masih membanggakan tapi berdarah-darah dan benar-benar kelelahan... Masih berdiri tegak, masih menolak, masih bebas dan mandiri, paling tidak di dalam hatinya!
*
Empat orang anak muda berdiri di dekat Masjid Agung di Srinagar. Mereka tegang; tampaknya siap untuk melompat, berlari, dan untuk melawan, juga siap untuk maju dan mundur jika diperlukan. Semua tergantung pada keadaan.
“Mereka memperkosa saudara-saudara perempuan dan ibu-ibu kami!” teriak salah seorang pemuda. Mereka menunjukkan tabung gas air mata yang mirip dengan yang digunakan di banyak tempat lain di dunia untuk membubarkan para demonstran. Kalau biasanya gas air mata itu ditembakkan ke udara, maka di sini diarahkan langsung ke kepala orang – memang diarahkan untuk membunuh.
Dalam intifada Kashmir ini, para polisi, tentara dan paramiliter menggunakan ketapel, senjata, tabung gas air mata, atau apapun yang tersedia, untuk melumpuhkan pemberontakan.
Mereka juga menggunakan kamera video; para demonstran yang melemparkan batu-batu difilemkan dan kemudian mereka ditahan, dihilang-paksakan, dan kadang-kadang disiksa dengan metode penyiksaan yang biadab.
Laki-laki muda di lingkungan ini secara rutin ditahan, dan sebagian besar dari mereka setidaknya pernah sekali disiksa.
Saya memotret tabung-tabung gas kosong yang di tangan mereka dan selalu berusaha agar lensa saya tidak memotret wajah mereka. Tapi justru para pemuda itu ingin dipotret: mereka tidak takut lagi.
Ironisnya hari itu adalah tanggal 26 Januari, Hari Republik India.
“Kita akan bertempur lagi hari ini! Kita akan lawan mereka! Ayo ikut kami!”
Mereka mengucapkan kata-kata Arab. Mereka mengangkat tangan mereka ke arah langit. Semua tersenyum, berpura-pura berani dan siap mati menjadi martir. Tapi saya tahu bahwa sebenarnya mereka takut. Selama bertahun-tahun saya menjalani hal seperti ini... saya bisa merasakan bagaimana takutnya mereka.
Mereka adalah para pemuda yang baik. Mereka putus asa dan terpojok, tapi mereka pemuda yang baik. Saya berjanji. Saya bilang bahwa saya akan ikut mereka. Kemudian, seperti biasa, saya memenuhi janji saya.
*
Beberapa hari kemudian di apartemennya yang bergaya kuno namun nyaman di New Delhi, saya berbincang-bincang tentang kolonalisme India di Kashmir dan di bagian Timur Laut dengan sutradara film dokumenter independen terkenal yang berasal dari etnik Kashmir-India.
Kami berdua sepakat bahwa di seluruh dunia sedikit sekali orang yang tahu tentang horor yang ada akibat pendudukan Kashmir, dan hampir tidak ada yang tahu tentang pendudukan di kawasan Timur Laut. Media massa di India dan di Barat secara serempak menyensor informasi tentang apa akibat sebenarnya dari penindasan, pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan di sana.
Hal ini bisa terjadi karena India mengkhianati BRICS dan malah lebih dekat dan lebih dekat lagi ke Empire, ke pihak Barat, dengan menandatangani pakta-pakta militer dengan mereka, sambil menyebarkan doktrin-doktrin yang berorientasi kepada pasar. Sekarang mereka mendapatkan ‘status khusus’ seperti yang dimiliki oleh Indonesia. Tidak peduli apapun yang dilakukan oleh India, tidak akan ada yang mengkritik atau menghukum mereka!
Mr. Kak juga mengatakan bahwa sekarang ini ‘sulit untuk bersaing di pasar kenestapaan global’.
Ketika saya menyebutkan keterlibatan Amerika Serikat dan Israel dalam latihan gabungan dengan India di Kashmir, serta dalam pelatihan polisi dan tentara India yang ditugaskan di Kashmir, Sanjay Kak berkata:
“Kalau bicara tentang kebrutalan, pasukan India sebenarnya bisa mengajarkan berbagai hal kepada Israel dan Amerika.”
Arundhati Roy, teman Sanjay Kak yang menjadi penulis dan aktivis di India, menjelaskan di bulan Maret 2013 kepada ‘Democracy Now’:
“Kashmir sekarang ini adalah zona militer terpadat di dunia. India punya sekitar 700.000 pasukan keamanan di sana. Dan di tahun 90-an, awal tahun 90-an, perjuangan di sana berubah menjadi perjuangan bersenjata, dan sejak itu sudah sekitar 68.000 orang tewas, mungkin 100.000 orang sudah disiksa, dan 10.000 orang yang hilang. Kita semua selalu berbicara banyak tentang Chile, Pinochet, tetapi sebenarnya korban di sini jauh lebih besar.”
*
Di Kashmir, saya bekerja sama dengan ‘Jammu & Kashmir Coalition of Civil Society’ /JKCCS (Koalisi Masyarakat Sipil Jammu & Kashmir), dengan Presidennya, Pervez Imroz dan seorang ahli risetnya, Pervaiz Mata. Kedua pria ini kemudian menjadi teman baik saya.
JKCCS benar-benar percaya bahwa sejak tahun 90-an setidaknya sudah 80.000 orang kehilangan nyawa mereka di Kashmir dan sebagian besar adalah warga sipil. Organisasi ini secara terbuka menyebut apa yang terjadi di Kashmir sebagai sebuah genosida. Mr. Pervez Imroz menuliskan pendapatnya untuk esai ini:
“Sejak tahun 1989, Angkatan Darat sudah melakukan kejahatan perang karena secara legal mereka diberi impunitas (kekebalan hokum) dan jarang sekali tentara bersenjata yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dihukum. Militerisasi di Jammu dan Kashmir telah mempengaruhi semua aspek kehidupan dan sayangnya media massa India dan masyarakat sipil, dengan beberapa pengecualian, telah meneruskan impunitas moral dan politik kepada angkatan darat yang mereka yakini memerangi terorisme lintas-perbatasan. Penghilang-paksaan secara sistematis, kuburan massal, dan penyiksaan telah benar-benar diabaikan oleh media massa India maupun internasional.”
“Dalam rangka mengganyang perjuangan kemerdekaan di Jammu dan Kashmir, pemerintah India telah menggunakan represi/penindasan yang sistematis dan institusional. Lebih dari 700.000 angkatan bersenjata telah ditugaskan untuk menetralisir perjuangan bersenjata dan untuk mengendalikan rakyat Jammu dan Kashmir yang meminta hak mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri, yang telah dijanjikan oleh pemerintah India di PBB yang tercantum dalam resolusi nomor 1948 dan 1949. Penindasan yang dilakukan oleh pemerintah India telah menjadi bagian dari kebijakan mereka. Juga ikut serta dalam kebohongan ini sector peradilan, dengan fungsinya sebagai bagian dari Negara hanya melayani kepentingan eksekutif dan bukan kepentingan rakyat Jammu dan Kashmir.”
“Lembaga-lembaga internasional dan khususnya masyarakat sipil dan pemerintah Barat setelah peristiwa 9/11 dan karena adanya islamophobia dan kepentingan lainnya, telah benar-benar mengabaikan situasi di Jammu dan Kashmir.”
*
Di Kashmir, ke mana pun saya pergi, ke mana pun saya berkendara, selalu ada hal-hal yang mengingatkan pada pendudukan: mulai dari kehadiran militer, polisi dan pasukan paramiliter yang tidak masuk akal, sampai ke banyaknya kuburan-kuburan massal. Barak-barak tentara berjajar di sepanjang jalan-jalan utama. Truk-truk militer dan polisi berlalu-lalang ke segala arah, di jalan-jalan utama maupun jalan-jalan sekunder. Ada banyak sekali roadblocks dan pos pemeriksaan.
Namun demikian, bukan hanya kekuatan langsung dan brutal yang membuat Kashmir berdarah-darah dan hancur. Parvaiz Mata menjelaskan bahwa pasukan keamanan India yang sangat besar jumlahnya ini berhasil menyusup dan memecah-belah masyarakat setempat. Mata-mata dan pengadu telah dimasukkan ke kawasan ini. Para pejuang perlawanan yang pemberani didiskreditkan sebagai informan. Gerakan-gerakan perlawanan dirusak dan dipecah-belah. Begitu pula seluruh lapisan masyarakat, bahkan keluarga.
Selalu ada rasa tidak aman. Para interogator menelepon orang-orang yang pernah ditahan, tokoh-tokoh yang dituduh melakukan perlawanan, dan mengatakan kepada mereka: “Kami akan segera ambil adik perempuanmu.”
Kebrutalan dari penyiksaan yang dilakukan di sini sangat tidak terbayangkan jika dibandingkan dengan standar apapun. Saya pernah menyelidiki dan melaporkan dari berbagai zona perang di seluruh dunia. Seringkali saya dipercaya untuk menceritakan kembali kebuasan yang benar-benar menakutkan, mendirikan bulu kuduk. Namun demikian, informasi yang saya peroleh di Kashmir melebihi praktek yang paling mengerikan yang pernah saya dengar.
Dalam sejarah modern, kekejaman pasukan India di Kashmir hanya bisa dibandingkan dengan kekejaman yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965, dan genosida di Timor Timur dan Papua. Atau kebrutalan pasukan Rwanda dan Uganda di Republik Demokratik Kongo. Atau operasi militer pemusnahan langsung yang dilakukan Empire di Indocina.
Tidak mengherankan, baik India maupun Indonesia adalah negara-negara klien Barat yang dipromosikan sebagai contoh ‘demokrasi’ dan ‘toleransi’.
*
“India sekarang kacau, menjajah dan brutal,” demikian sentimen yang disampaikan kepada saya ddi rumah Pervez Imroz di luar kota Srinagar.
Sesuai dengan adat Kashmir yang sangat tradisional, kami duduk di lantai dengan berselonjor kaki dan menggunakan pemanas kuno yang ditempatkan di bawah selimut. Kami minum teh di sana.
Sehubungan dengan pertemuan ini, hanya dua orang dari JKCCS yang dapat saya identifikasi dengan nama asli mereka di dalam tulisan ini. Sisanya adalah mereka yang bekerja atas nama tanah tumpah darah mereka yang sudah disalahgunakan, namun posisi mereka di organisasi internasional dan lembaga pers akan bisa terancam jika mereka memberikan testimoni on the record.
Semua banyak membantu saya, membimbing saya, menjelaskan situasi di sana, memberikan kontak dan informasi yang saya perlukan. Mereka bersedia berbicara namun secara anonim, namun jelas sekali dimana loyalitas dan hati mereka berada:
“Orang India sangat moralistik dalam hal isu Palestina... walaupun itu pun sudah berubah sekarang setelah pemerintahan Perdana Menteri Modi membuat India bergerak lebih dekat dan lebih dekat lagi ke pihak Barat. Di sini, Amerika Serikat dan Israel sangat terlibat dalam hal ‘pelatihan anti – teroris’. Tidak terhitung banyaknya perwira militer dan polisi yang dididik di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel. Perwira-perwira polisi dikirim ke luar negeri. Angkatan darat mengadakan latihan rutin dengan pasukan Amerika Serikat dan Israel, terutama di daerah Ladakh, dekat Pakistan.”
“Sebenarnya, Ladakh sangat populer di kalangan warga Israel. 20,000 sampai 30,000 orang datang kemari setiap tahun sebagai wisatawan, atau beberapa dalam kapasitas ganda.”
“Ide-ide dan praktek pemukiman Israel secara luas digunakan di Kashmir. Tetapi dengan ‘perbaikan’ di sini. India menyempurnakan kebijakan Israel yang bersifat apartheid.”
Semua orang di sini setuju bahwa faktor kebrutalan di Kashmir jauh lebih tinggi daripada di Palestina:
“Kebrutalan pasukan Israel tidak disembunyikan: semua terlihat jelas. Setiap tindakan terhadap rakyat Palestina didokumentasikan dengan baik. Tindakan Israel terus-menerus dikritik dari luar negeri, bahkan juga di dalam negeri. Banyak kumpulan-kumpulan negara, bahkan Uni Eropa, menuntut kemerdekaan Palestina. Kashmir berbeda: Intifada kami disembunyikan dari seluruh dunia. Setidaknya 80.000 orang yang tewas di sini. Ratusan ribu telah disiksa. Tapi hampir tidak ada suara/kritikan yang datang dari luar negeri.”
Ada kemiripan yang mencolok antara perlawanan Palestina dan Kashmir dan tujuan keduanya untuk memperoleh kemerdekaan dan Negara yang berdaulat. Salah satu film paling terkenal yang dibuat oleh teman saya Sanjay Kak di New Delhi diberi judul ‘Jashn-e-Azadi – How We Celebrate Freedom’ (Jashn-e-Azadi – Bagaimana Kita Merayakan Kebebasan), dan film ini membicarakan topik yang kita bicarakan di sini. Sanjay juga menyunting buku: Until My Freedom Has Come - The New Intifada in Kashmir ( 2011) .
*
Kupwara. Terlihat kuburan-kuburan massal di bukit.
Ketika kami tiba di sana, kota ini sepi, tidak ada kegiatan apapun. Hari itu adalah peringatan 24 tahun pembantaian warga oleh pasukan India. Sekitar 60 orang yang telah dibantai di sini lebih dari dua dekade lalu ketika mereka menuntut diakhirinya pendudukan oleh India.
“Di sini banyak orang yang hilang, yang tewas dalam apa yang disebut pertempuran yang sudah diatur. Pertempuran itu terjadi beberapa kali,” kata Parvaiz Matta. “Tidak terhitung berapa orang yang dimutilasi yang dikirim ke rumah sakit setempat: beberapa tiba tanpa kaki, jelas hasil dari suatu penyiksaan.”
Ada beberapa tandu berkarat yang disandarkan ke pohon. Katanya tandu-tandu itu dipakai untuk membawa mayat-mayat dari rumah sakit ke kuburan massal ini. Dan mayat-mayat masih terus berdatangan, dibawa oleh aparat keamanan dari dalam hutan.
Kuburan-kuburan massal berserakan di seluruh bukit, ada yang tepat di sebelah sekolah umum yang terletak di puncak bukit.
Saya diberitahu bahwa “Aparat keamanan mengatakan bahwa mayat-mayat itu adalah ‘teroris-teroris asing yang tidak dikenal’. Tapi kata ‘asing’ saja bukannya sudah merupakan bentuk identifikasi?”
*
700.000 pasukan keamanan bertempur dengan 200 sampai 300 pejuang perlawanan Mujahidin yang aktif.
‘Bertempur’ di sini terutama berarti membunuh warga sipil yang tidak bersalah dan warga kampung-kampung dari daerah-daerah terpencil. Kemudian mayat-mayat ini disebut sebagai mayat para pejuang Mujahidin yang ‘tewas dalam pertempuran’. Hal ini selanjutnya dipakai untuk ‘membenarkan’ operasi dan anggaran militer yang besar.
‘Bertempur’ juga termasuk menyiksa siapa saja yang dicurigai atau ‘dituduh’ menjadi bagian atau mendukung Mujahidin, yang berarti siapa saja yang diputuskan menjadi seperti itu oleh pasukan keamanan.
Penyiksaan yang menjadi ‘ciri khas’ di Kupwara terdiri dari memotong kaki atau jari tangan. Alat dan metode penyiksaan yang digunakan di sini, di kawasan ini, yang sangat dekat dengan perbatasan Pakistan, amatlah rumit.
Dada korban dibakar dengan koin-koin yang merah membara dan panas, kemudian penis korban disetrum. Testis korban dibakar. Botol-botol berisi alkohol dimasukkan ke dalam lubang anus pria-pria yang digantung dengan kepala di bawah di langit-langit. Kaki-kaki mereka dihancurkan dengan menggunakan rol-rol kayu. Paku-paku ditancapkan ke kaki para tahanan. Dan mereka yang punya tattoo bulan sabit dihapus dengan menggunakan tang-tang yang panas membara.
Ketika seorang wanita ditangkap, hampir pasti bahwa dia akan disiksa dan akan diperkosa beramai-ramai.
Hal yang juga umum terjadi di seluruh Kashmir asalah mensodomi tahanan pria.
Tentu saja semua hal di atas tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ‘spontan’ dilakukan. Jelas ada polanya. Pasukan keamanan sudah dilatih untuk melakukan apa yang mereka lakukan. Kelompok baru yang sangat brutal telah diciptakan oleh negara. Kelompok ini disebut sebagai SOG, dan sebagian besar terdiri dari anak-anak polisi dan anggota militer yang tewas dalam pertempuran-pertempuran dengan Mujahidin. Mudah sekali dibayangkan metode apa yang mereka gunakan.
“Sebagian besar kasus penyiksaan dan pemerkosaan tidak didokumentasikan,” jelas Parvaiz. “Tapi organisasi saya saja sudah berhasil mengumpulkan dokumentasi sekitar 5.000 kasus penyiksaan. Misalnya, seorang ayah yang kepalanya dipancung di depan keluarganya…”
Saya memintanya untuk berhenti menjelaskan, setidaknya selama beberapa menit. Setidaknya saya perlu beberapa saat untuk bisa mencerna apa yang saya lihat di sekeliling saya, dan apa yang diberitahukan kepada saya.
*
Kami berkendara lebih lanjut menuju ke perbatasan Pakistan. Daerah ini benar-benar subur dan indah. Gunung-gunung yang tinggi tertutup oleh salju, danau dan padang rumput yang masih asli. Saya minta pak sopir untuk berhenti sebentar. Saya perlu menghirup udara segar. Saya perlu melihat semua hal yang indah ini untuk mendapatkan kembali kekuatan sebelum kami melanjutkan perjalanan ke tempat yang sebetulnya saya takuti menuju tempat yang saya takut mengunjunginya tapi tetap harus saya kunjungi.
Kami menuju ke dua desa: Kunan dan Poshpora.
Di dua desa ini, pada tanggal 23 Februari 1991, angkatan bersenjata India mengepung desa Kunan dan menangkap semua pria yang usianya 13 tahun ke atas. Mereka datang dengan membawa alat-alat penyiksaan di mobil-mobil mereka, dan penyiksaan yang mereka lakukan amat mengerikan.
Kami memarkir mobil dan saya diajak masuk ke salah satu rumah.
Rumahnya sangat tradisional, rapi dan sangat bersih. Sepatu kami tanggalkan. Dua orang pria sudah menunggu di ruang utama, menyandarkan punggung mereka ke dinding dan bantal yang lembut. Tidak lama kemudian datang orang ketiga.
Kami hadir di sini bukan untuk membahas masalah penyiksaan, tapi tentang perkosaan massal.
Tapi pertama-tama, para pria itu mengingat penderitaan yang mereka alami sendiri. Salah satu di antara mereka memulai:
“Kala itu larut malam di bulan Februari; di luar amat dingin, musim dingin. Semua dimulai pada pukul 11 malam dan tidak berhenti sampai pukul 4 dini hari. Semua laki-laki dibawa keluar, dan diluar dingin sekali. Mereka menelanjangi kami dan memaksa kami untuk berdiri di cuaca yang dingin sekali. Salju setinggi 3 kaki di sekeliling kami. Mereka menyiksa 100 orang dari kami; semua laki-laki... 40 sampai 50 orang disiksa dengan brutal. Mereka menggunakan arus listrik, dan mereka juga memasukkan cabe merah ke dalam air dan memasukkan kepala kami ke dalamnya.”
Di ruangan ini tidak ada perempuan; tidak ada perempuan sama sekali yang bisa kita lihat di sekeliling rumah ini.
Seorang lelaki tua yang lain mulai berbicara, sementara saya berusaha tidak melihat mukanya. Rasanya sangat tidak nyaman untuk mendengar semua ini, dan saya tahu seberapa besar usaha dan tekad yang dibutuhkan orang-orang ini untuk berbicara tentang malam yang amat mengerikan hampir seperempat abad yang lalu.
“Ibu-ibu dan anak-anak perempuan ditinggal di rumah. Mereka ditinggal sendirian dan tidak berdaya. Para tentara, ada sekitar 200 orang, memasuki rumah, kurang lebih 5-10 orang per rumah. Mereka membawa botol-botol alcohol dan mereka dalam keadaan mabuk. Semua memang direncanakan seperti itu!”
Kemudian para pria itu mencoba berbicara pada waktu yang bersamaan:
“Perempuan-perempuan diperkosa. Semuanya... Dan bukan hanya perempuan dewasa, tetapi juga gadis-gadis kecil berusia 6-13 tahun... Pakaian mereka dirobek, mereka dihina, diejek, dan kemudian diperkosa.”
Tentara-tentara itu berteriak pada perempuan-perempuan: “Kalian lah yang membantu militan-militan itu, kan?”
Dan semua ini dilakukan oleh pasukan India, dan di India seringkali bahkan perkosaan tidak berakhir dengan perkosaan saja. Tindakan brutal ini tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata; perkosaan ini termasuk memasukkan benda-benda tajam, potongan besi berkarat, atau apa saja.
“Banyak perempuan-perempuan itu yang mengalami perdarahan hebat. Beberapa orang bahkan tidak sadarkan diri selama 4 atau 5 hari,” kata tiga orang suami yang istrinya selamat di malam yang mengerikan itu.
“Salah satu ibu baru saja melahirkan seorang bayi hanya 4 hari sebelum kejadian. Bayi itu sedang memeluk ibunya ketika para tentara itu masuk. Pertamanya membunuh si bayi dan kemudian mereka beramai-ramai memperkosa si ibu.”
“Mereka menyiksa dan memperkosa seorang gadis yang masih di bawah umur. Mereka mematahkan kakinya. Dia meninggal beberapa waktu kemudian…”
“Beberapa wanita menjalani pengobatan selama bertahun-tahun karena lubang anus mereka rusak berat.”
5 orang perempuan meninggal akibat apa yang terjadi malam itu.
Ada dua orang polisi dari desa itu yang berusaha membantu para wanita yang terluka. Mereka bersedia untuk tampil ke depan dan bersaksi. Salah satu di antaranya ditembak mati, dibunuh.
Saya diberitahu bahwa ada 40 orang perempuan yang tampil ke depan dan memberikan kesaksian. Mereka adalah perempuan-perempuan yang sudah menikah. Identitas gadis-gadis di bawah umur, gadis-gadis yang belum menikah, dirahasiakan. Namun demikian, setelah kejadian itu, hampir tidak ada perempuan muda dari Kunan yang bisa menikah. Stigma yang mereka sandang terlalu besar dan tidak ada warga dari daerah lain yang mau menikahi korban perkosaan.
Parvaiz menjelaskan bahwa perkosaan masih terjadi di pedalaman, di daerah perbatasan, di mana orang-orang berada dalam kekuasaan militer. “Perkosaan masih digunakan sebagai senjata perang,” katanya.
Untuk penyerangan ke desa Kunan ini, sejauh ini tidak seorang pun tentara yang dihukum.
Sebelum kami meninggalkan mereka, suami-suami dari korban perkosaan menjelaskan:
“Penyerangan itu terjadi di awal-awal... Kemudian banyak sekali peristiwa mengerikan lainnya yang terjadi. Kami mencoba untuk bermain sesuai aturan, yaitu dengan menggunakan sistem hukum di India. Tapi setelah hampir seperempat abad, tidak ada keadilan. Di sini, hukum justru hanya melindungi orang-orang yang bersalah. Militerisasi di Kashmir menghancurkan hidup kami semua! Sekarang ini kami hanya ingin bebas karena takdir saja! Semua ini trauma yang mengerikan bagi kami. Bahkan anak-anak dari desa lain mengejek ibu-ibu dan anak-anak perempuan dari desa kami: “Oh, kamu dari desa yang semua perempuannya diperkosa ya!””
Bertemu dengan bapak-bapak dari Kashmir itu merupakan pengalaman yang luar biasa karena mereka memutuskan untuk membuka diri mereka kepada saya.
Setelah mereka selesai berbicara, kami berjalan kaki dari desa Kunan ke desa Poshpora. Secara metaforis, gunung es sudah pecah. Saya sudah diberi ijin untuk memotret rakyat di desa itu, baik lelaki maupun peerempuan. Mereka sudah menerima saya.
Ketika kami mulai berkendara kembali menuju Srinagar, ada keheningan yang panjang di dalam mobil. Lalu saya memecahkan keheningan itu:
“Parvaiz?”
“Hmmm?”
“Mereka mengejek gadis-gadis dan ibu-ibu...” saya mulai berkata...
Saya tahu dia sedang memikirkan hal yang sama.
“Apakah kamu mau menikah dengan korban perkosaan?” dia bertanya.
“Kalau saya mencintainya, ya. Tentu saja saya akan menikahinya.”
“Kamu yakin?”
“Ya,” jawab saya.
“Di sinilah budaya kami gagal,” katanya. Dan saat itulah saya tahu bahwa dia juga akan melakukan hal yang sama.
Saya menceritakan padanya tentang perkosaan massal di kota Ermera, Timor Timur. Pasukan tentara Indonesia yang melakukannya – skenarionya persis sama dengan yang terjadi di desa Kunan, Kashmir.
Pada saat itu, saya meliput secara ilegal di Timor Timur. Saya ditahan dan disiksa. Tidak seorang pun pernah dihukum karena perkosaan atau pembunuhan di sana. Banyak orang yang secara langsung bertanggung jawab atas genosida di Timor Timur kini memerintah di Indonesia.
*
Ketika kami melewati Kupwara, suasana di dalam mobil terasa jauh lebih baik.
“Saya sebelumnya tidak ingin memberitahu kamu, tapi ada kemungkinan sebelum sampai di Kupwara, mobil kita bisa saja diminta untuk berhenti, lalu kita diinterogasi, dan...”
Saya mengerti.
Tapi sekarang ‘semua baik-baik saja’.
Semakin jauh kami berkendara dari Kupwara, maka sudah lebih aman lah; sekarang ini kalau ditanya kami punya banyak argumen mengapa kami melakukan perjalanan ini. Saya memotret beberapa kamp militer dan paramiliter dari dalam mobil.
Lalu saya meminta sopir untuk berhenti karena saya ingin buang air kecil. Dia menghentikan mobil tepat di dekat kebun apel Kashmir.
Saya keluar dari mobil dan berjalan menuju pohon trdekat; udara sangat segar dan pemandangan pedesaan yang indah, dan hal-hal lain seperti itu... Dan pada saat itulah saya melihatnya: seorang prajurit, mengenakan pakaian samaran, memegang senapan mesin, dan dalam keadaan siap siaga. Saya buang air kecil ke arahnya, menantangnya. Lalu saya mengejeknya dengan memberi hormat. Dia tersenyum pun tidak, hanya berdiri di sana seperti orang idiot, di bawah pohon apel.
Saya berpikir mana yang lebih banyak di Kashmir: petugas keamanan India atau pohon apel?
*
Saya mengunjungi Mr. Hassan Bhat di kota Sopore yang dikenal karena para pejuang perlawanannya. Mr Bhat dulunya adalah salah satu dari mereka, tetapi dia tertangkap dan disiksa dengan kejam beberapa kali, dan akhirnya dia menyerah dan tidak aktif lagi.
Pasukan keamanan membunuh kedua anaknya. Begitu saja, keduanya meninggal ketika mereka mencapai usia 15 tahun.
Seorang anaknya pergi ke sebuah toko setempat di tahun 2006 untuk beli susu, dan seorang aparat keamanan menembak dadanya dari atas mobil polisi yang lewat dengan kecepatan tinggi. Anaknya yang lain tewas di tahun 2010 ketika sejumlah anak muda saling melempar batu dan dia terjebak di tengah-tengah, dak karena takutnya, dia melompat ke sungai. Polisi mulai menembakkan tabung gas air mata kearah siapa saja yang berada di dalam air. Mereka menembaknya, dan kemudian dia tewas.
“Saya tahu siapa pelakunya, saya tahu petugas yang bertanggung jawab,” kata Mr. Bhat. Dia mencoba melaporkannya, tapi polisi menolak untuk memproses kasus itu.
“Waktu itu, petugas yang bertanggung jawab akan dikirim untuk bergabung dengan Pasukan Penjaga Perdamaian PBB,” kata Parvaiz . “India sering mengirimkan pasukannya yang berjuang di Kashmir ke PBB. Ini adalah skema menghasilkan uang yang besar bagi negara... Tapi organisasi kami berhasil mengidentifikasi orang itu, dan kami mengirimkan bukti yang rinci tentang kejahatannya ke PBB. Setelah itu, aplikasinya ditolak.”
Aku pernah melihat bagaimana Pasukan Penjaga Perdamaian India di PBB beraksi di Goma, Republik Demokratik Kongo. Bahkan mantan kepala UNHCR, Ms. Masako Yonekawa, mengeluh kepada saya tentang banyaknya kegiatan ilegal yang dilakukan oleh ‘kontingen penjaga perdamaian’ India.
Kemudian, Mr. Bhat dan saya berdiri di tepi Sungai Jhelum.
“Sungai ini mengalir sampai ke Pakistan,” desahnya.
Meskipun Mr Bhat sudah melewati banyak sekali banyak hal yang amat mengerikan, dia tetaplah seorang pria yang baik hati dan lembut.
Saya bertanya kepadanya apakah menurutnya pada suatu saat nanti Kashmir bisa merdeka.
“80 % dari rakyat Kashmir ingin merdeka,” katanya. “80 % adalah persentase yang banyak, kan?”
Kemudian saya diajak melihat sebuah tempat yang di 1994 telah dihancurkan secara meyeluruh oleh BSF (Pasukan Keamanan Perbatasan). Pada saat itu, 53 orang tewas.
Kemudian di tengah malam, kami pergi ke sebuah rumah tempat terjadinya pertempuran antara pasukan India dan Mujahidin beberapa hari sebelumnya.
Sopore masih berjuang.
Tapi ada rasa takut. Dingin; ketakutan yang ada di mana-mana.
Saya diberitahu oleh banyak orang bahwa sekarang ini bahkan rakyat takut untuk memprotes kelangkaan bahan pokok. Orang bisa dengan mudah hilang di sini.
Saya diberitahu bahwa pasukan India di sini mencoba membuat anak-anak muda kecanduan alkohol dan obat-obatan untuk menjauhkan mereka dari perlawanan/ pemberontakan.
Tetapi yang lain mengatakan: Di kota ini, di Sopore, rakyatnya punya tekad kuat. Mereka melawan. Di sini mereka aktif. Kota ini menghasilkan orang-orang besar! Orang-orang yang tidak pernah menyerah! Pasukan India menyebutnya ‘Little Pakistan’.
Apakah kekuatan penindasan yang besar bisa benar-benar dikalahkan, dan jika bisa, bagaimana caranya?
Inilah saatnya, bahkan di Sopore, bahkan di tengah malam buta, di depan rumah yang baru-baru ini menjadi saksi pertempuran yang sesungguhnya, semua orang menjadi realistik:
“Hanya tekanan dari dunia internasional yang bisa membantu!”
*
Ada saatnya orang akan merasa amat lelah dan hampir kebal setelah mendengarkan rangkaian peristiwa pembunuhan ektra-yudisial, penghilangan paksa, penyiksaan dan perkosaan yang secara rinci dan terdokumentasi dengan baik.
Pernah suatu kali saya mendapatkan bukti-bukti tentang seorang pria yang ditahan, diinterogasi dan ketika dia membantah, kedua kakinya dipotong. Dia selamat . Ketika masih dalam tahanan, beberapa saat kemudian, pasukan keamanan memotong sebagian besar daging dari berbagai bagian tubuhnya, kemudian mereka memasaknya dan memaksa dia untuk memakannya. Hal ini berlangsung selama beberapa hari. Dia selamat... Kasus ini didokumentasikan dan organisasi-organisasi HAM menuntut keadilan. Tidak ada yang dihukum.
*
Di sini ada genosida yang mengerikan, keterlaluan dan tidak dilaporkan oleh media dan intelektual pengecut, baik di India maupun di Barat.
Orang-orang yang berani berbicara dan menulis tentang perjuangan rakyat Kashmir malah diintimidasi, dideportasi, dan bahkan diserang secara fisik.
Arundhati Roy secara berkala diancam dengan tuduhan menghasut, dikenai tuntutan hukum dan hukuman penjara seumur hidup.
Tokoh lain seperti penyiar radio legendaris David Barsamian dideportasi dari India, dan tidak diberikan penjelasan apapun.
Pada bulan Oktober 2011, pengacara senior di Mahkamah Agung Mr. Prashant Bhushan (yang merancang UU Lokpal) diserang secara brutal di ruang kerjanya di Mahkamah Agung setelah dia berkomentar tentang Kashmir. Mr. Bhushan berbicara tentang pelanggaran hak asasi manusia dan militerisasi di Kashmir.
*
Di Kashmir pun ada turis, bukan hanya orang India, tapi juga orang asing. Mereka pergi bermain ski dan snowboarding ke Gulmarg , atau hiking ke Ladakh. Ada orang-orang Eropa dan Israel, ada juga orang dari Amerika Utara.
Banyak penduduk setempat menyebutnya ‘pariwisata horor di Rapistan’.
Saya bertemu dengan beberapa pasang turis di pegunungan, di Gulmarg. Pipi mereka merah merona karena terlalu banyak udara segar di ketinggian. Saya berbicara dengan pasangan dari Inggris yang sedang menikmati bermain ski, juga dengan pasangan Jerman yang sedang berlihut… Mereka tidak tahu apa-apa tentang yang sedang terjadi di Kashmir. Ketika saya bertanya lebih jauh: “Tapi kan anda pasti menyadari adanya banyak bunker dan konvoi-konvoi militer serta pos-pos pemeriksaan,” dan jawaban mereka yang sederhana adalah: “Ya... India harus melakukan sesuatu untuk masalah terorisme, kan?”
Sudah menjadi fakta yang terdokumentasi dengan baik bahwa Empire mengandalkan beberapa negara, di seluruh dunia, untuk bertindak atas namanya, menyebarkan teror di ‘kawasannya’, bahkan seringkali bertindak brutal bahkan kepada warganya sendiri. Negara-negara ini, misalnya, Rwanda, Uganda dan Kenya di Afrika, Honduras dan Colombia di Amerika Latin, Israel, Arab Saudi dan Qatar di Timur Tengah, Indonesia, Thailand dan sekarang India di Asia.
Sebagian besar negara-negara antek yang brutal dibaptis sebagai negara ‘demokrasi’, sebagai negara yang toleran, dan sebagai contoh yang layak untuk ditiru.
Negara-negara ini dipromosikan sebagai ‘Lands of Smile’, atau sebagai ‘budaya non- kekerasan’. Itu semua tentu saja lelucon, tapi entah bagaimana, tidak banyak orang yang tertawa.
Hal ini karena mereka tidak tahu. Karena kebrutalan dan sinisme masih laku.
Dan pendekatan ini harus dihentikan! Kejahatan brutal terhadap kemanusiaan ini harus dibuka. Negara-negara yang membunuh ribuan orang tak berdosa harus dipermalukan secara publik dan ditangani secara internasional. Tak dapat dipungkiri bahwa sebuah negara yang melayani Empire, menyiksa dan memperkosa mereka yang merindukan kemerdekaan, sementara di saat yang sama mencibir pada rakyatnya sendiri yang miskin, tidak punya tempat dalam organisasi seperti BRICS!
*
Pada tanggal 26 Januari, seperti yang saya janjikan, saya kembali ke area Masjid Agung di Srinagar. Aku mengikuti kemana anak-anak muda itu bergerak. Beberapa blok kemudian, setelah pukul 2 sore, pertempuran meletus.
Pertempuran langsung yang keras, mirip sekali dengan di Palestina.
Satu-satunya perbedaan besar adalah tidak adanya saksi lain selain saya, untuk menggambarkan keberanian pemuda setempat, serta penindasan rakyat Kashmir oleh India.
Dua hari kemudian saya naik cable car terpanjang di Asia, di Gulmarg. Saya ingin melihat ‘apa yang ada di atas sana’. Dan tentu saja ada sebuah pangkalan militer!
Dalam perjalanan turun, listrik mati dan gondola berhenti, melayang-layang di udara. Pintu cable car tidak bisa menutup rapat, dan ada banyak lubang. Bagaimanapun saya berada di India. Dan saya bisa mati beku di sini jika cable car itu tidak mulai bergerak lagi beberapa menit kemudian.
India menghadapi tantangan-tantangan yang paling serius di muka bumi: mulai dari buta huruf sampai pada kemiskinan yang ekstrim. Secara pragmatis saja, 700.000 orang pasukan keamanan memerlukan biaya miliaran dolar setiap tahunnya. Bahkan jika para elit, pemerintah dan militer India tidak peduli tentang rakyat Kashmir dan penderitaan mereka, setidaknya mereka harus peduli dengan penduduk miskinnya sendiri!
Menduduki Kashmir berlawanan dengan kehendak rakyatnya tidak akan membawa manfaat bagi India dan rakyat India. Yang jelas, hal ini tidak demokratis dan brutal... dan benar-benar tidak perlu!
*
Selamat datang di Kashmir! Keindahannya seperti dalam dongeng. Danaunya, pegunungannya, lembahnya dan sungainya sungguh indah dan mengagumkan. Rakyatnya hangat, ramah, tapi juga kuat.
Kashmir sedang berdarah-darah. Lembah-lembahnya dipisahkan oleh kawat berduri. Perempuan-perempuannya diperkosa. Laki-laki nya disiksa dan dihina. Tangisan orang Kashmir dibuat bisu. Dunia hampir tidak tahu apa-apa tentang perjuangan mereka, tentang penderitaan mereka.
700.000 orang pasukan keamanan berperang dengan 300 orang! Dan mereka tidak bisa menang. Mengapa? Jawabannya sederhana: Tidak ada kekuatan brutal di muka bumi ini yang bisa mengalahkan orang-orang yang berjuang untuk mempertahankan kehidupan di tanah air mereka sendiri, untuk sesuatu yang begitu mereka sayangi, dan begitu begitu mereka cintai!
***
Link ke esai aslinya:
Genocide in Kashmir
India's Shame
http://www.counterpunch.org/2015/02/06/indias-shame/
***
Andre Vltchek adalah seorang novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Hasil liputannya antara lain buku terbarunya: “Fighting Against Western Imperialism”("Berjuang Melawan Imperialisme Barat"). Penerbit Pluto menerbitkan diskusinya dengan Noam Chomsky: On Western Terrorism (Tentang Terorisme Barat). Novel politiknya Point of No Return sudah diedit kembali dan sekarang sudah tersedia. Oceania adalah bukunya tentang imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatif tentang Indonesia pasca-Suharto dan sebagai model fundamentalis pasar berjudul “Indonesia – The Archipelago of Fear” sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia “Indonesia – Untaian ketakutan di nusantara”. Film dokumenternya, "Rwanda Gambit" bercerita tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, sekarang ini Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya .