Terjemahan Terbaru
Indonesia: Untaian Ketakutan di Nusantara
Andre Vltchek Terjemahan oleh: Rossie Indira |
Penerbit: Badak Merah Semesta Kontak: [email protected] Telp: 0819-08293177 Harga: Rp. 125.000,- "Vltchek menggambarkan dan menganalisis apa yang telah dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia saat ini: kemiskinan, ketakutan dan penghinaan oleh para elit yang korup dan serakah." - Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Nasional LBH APIK dan mantan anggota DPR RI. |
Counterpunch:
Edisi Akhir Minggu 30 Januari – 1 Februari, 2015
Kashmir sedang berdarah-darah
Setengah umat manusia di bumi ini sekarang membentuk ‘Perlawanan’
Ditulis oleh: ANDRE VLTCHEK
Diterjemahkan oleh: Rossie Indira
Sehari sebelum meninggalkan Srinagar, di provinsi ‘Kashmir yang dibawah pemerintahan India', beberapa kamerad meminta saya untuk berbicara di sebuah pertemuan kecil antara intelektual India setempat serta pengunjung yang berpemikiran progresif. Mereka terutama ingin mendengar tentang status/kondisi perlawanan terhadap imperialisme Barat. Dan India sekarang dengan semangat dan tanpa malu-malu sedang berusaha untuk bergabung dengan imperialisme Barat.
Di luar sudah gelap, secara harfiah maupun metaforis. Kashmir sudah amat berdarah-darah. Setidaknya sudah 80.000 orang tewas, sebagian besar karena teror yang disebarkan oleh negara India yang fasis. Para korban terutama adalah warga sipil. Setidaknya 8.000 orang telah ‘hilang’. Tidak terhitung jumlah perkosaan yang terjadi, terutama yang tidak dilaporkan, dan kasus-kasus penyiksaan yang menjijikkan dan tak terbayangkan. Semua itu terjadi hanya dalam dua dekade terakhir.
Minggu depan saya akan menulis tentang hal ini. Tapi sebelumnya, saya mohon dengarkan cerita saya ini.
Di malam yang gelap itu, beberapa pria dan wanita berkumpul di sebuah ruangan sempit dan menanyakan kepada saya sebuah pertanyaan sederhana dan penting: “Mungkinkah kebrutalan Empire/Kekaisaran dicegah, dan jika tidak dicegah, apakah bisa dihentikan?”
Saya menjawab bahwa “Ya!” Dan “Ya!” lagi.
Karena tidak peduli seberapa gelap malam terlihat, tidak peduli bagaimana perjuangan yang tampaknya tidak ada harapan, dunia telah berubah dalam beberapa tahun terakhir, dan perubahan yang terjadi sudah begitu mendalam.
***
Ketika saya berdiri di tengah jalan pada tanggal 26 Januari 2015, hanya dengan berbekal sebuah kamera, tepat di tengah-tengah antara para pemuda yang melemparkan batu-batu dan pasukan keamanan India yang bersenjata, saya adalah satu-satunya yang bersedia untuk melaporkan kejadian tersebut. Setelah itu, seorang aktivis hak asasi manusia di Kashmir menjelaskan kepada saya: "Orang asing tidak berani melakukan hal ini, wartawan lokal seperti biasa akan dipukuli oleh pasukan keamanan India, dan jika ada orang India yang berani dan datang kemari, maka mereka akan berhadapan dengan cacian dari para pemuda pelempar batu itu.”
Makanya saya sendirian di sana.
Tapi apakah saya benar-benar sendirian?
Di belakang saya - memang tidak tampak - tetapi secara psikologis berada tidak terlalu jauh, berdiri seorang kamerad yang bekerja untuk kantor berita internasional yang besar. Dia tidak bisa berada di sini dengan saya, tapi sebelum saya kemari, dia memberikan dukungan, kontak, dan pengetahuannya. Tanpa bantuan dan dukungannya, apa yang saya kerjakan nyaris mustahil dilaksanakan, atau setidaknya akan jauh lebih berbahaya daripada yang saya alami.
Perjuangan untuk keadilan, untuk kebebasan sejati, dan di atas semua itu untuk kelangsungan hidup umat manusia, menjadi semakin luas, diikuti oleh negara-negara yang terletak di berbagai benua dan oleh individu-individu dari berbagai lapisan masyarakat
Dua dekade lalu kita hidup di dunia yang sama sekali berbeda. Antek-antek Barat, dengan Boris Yeltsin sebagai pemimpinnya, mematikan Uni Soviet. Sebagian besar Eropa Timur dipimpin oleh anak-anak dari mantan elit politik, seperti misalnya Vaclav Havel. China masih amat jauh dari membalikkan ‘reformasi’ yang pro-pasar yang diperkenalkan oleh Deng Xiaoping. Dan Amerika Latin masih berada dalam kondisi kacau balau, ada yang masih terlibat dalam perang saudara dan konflik-konflik, ada yang masih dalam usaha memulihkan diri dari kediktatoran yang pro-Barat, atau ada juga yang dipimpin oleh para penganut fundamentalis pasar, atau ada juga yang mengalami ketiganya. Di Afrika dan Timur Tengah, kediktatoran sayap kanan sudah mengkonsolidasikan kekuasaan mereka, dan di banyak negara Asia, para elitnya sibuk mengambil alih kekuasaan lagi, dengan didukung penuh oleh media dalam negeri yang mereka miliki, serta oleh media mainstream Barat.
Secara lingusitik, bahasa dan terminology telah benar-benar dibelokkan atau dibuat membingungkan. Fasisme disebut sebagai ‘demokrasi’. Istilah-istilah seperti ‘sosialisme’ dan ‘komunisme’ secara ketat dan terus-menerus diberikan konotasi yang buruk.
Alangkah buruknya kehidupan di dunia dulu!
Tapi tidak lagi, sekarang semuanya telah benar-benar berubah.
***
Di Kashmir, saya sampaikan kepada teman-teman saya tentang adanya media-media baru dan kuat, baik di Amerika Latin, di Rusia, di Cina, atau di Iran. Sekarang, hal ini sudah bukan ‘alternatif’ lagi. Sedikit banyak, mereka sudah menjadi ‘mainstream’ (‘arus utama’), karena di berbagai belahan dunia untuk memperlihatkan kejahatan yang dilakukan oleh Barat, oleh Empire-nya dan oleh ‘negara-negara klien’nya seperti India, Indonesia, Kenya, Rwanda atau Uganda, sudah menjadi sesuatu yang dianggap benar-benar alami, sesuatu yang diharapkan dan dituntut oleh penduduk dunia.
Tetapi di atas semua itu, saya menjelaskan bahwa hanya beberapa tahun yang lalu, mungkin satu dekade yang lalu, saya hanya punya beberapa sahabat seperti Noam Chomsky yang ‘membeking saya’. Sekarang sudah ada banyak yang ‘membeking saya’ dari berbagai kelas, profesi, dan dari berbagai belahan dunia!
Salah satu pengacara internasional paling terkenal, Chris Black dari Toronto, Kanada, dan mantan ekonom Bank Dunia, Peter Koenig, sekarang bersama saya sedang mempersiapkan sebuah buku. Keduanya mengerti dan berbalik haluan untuk memerangi fasisme. Keduanya punya pengetahuan praktis yang berlimpah karena mereka pernah bekerja ‘di dalam sistem’.
Baru dua bulan yang lalu saya diundang ke Eritrea, sebuah negara Afrika yang berani melawan intimidasi langsung dan embargo yang dikenakan oleh Empire. Seorang ibu yang mengundang saya ke sana pernah bekerja untuk Bank Dunia di Sudan Selatan. Dia begitu muak dengan apa yang diharapkan dilakukan olehnya – yaitu menghancurkan saudara-saudaranya di Afrika – sampai dia berani meninggalkan pekerjaan dengan bayaran yang tinggi itu setahun yang lalu, dan kemudian mendirikan organisasi yang progresif untuk membela kawasan Tanduk Afrika (Horn of Africa). Dia mendirikan kantor pusatnya di kota Asmara, ibukota Eritrea, tempat asalnya. Sejak itu, dengan berani, dia berjuang untuk rakyatnya dan untuk mereka yang tinggal di belahan dunia yang sudah benar-benar disalahgunakan dan dijarah habis.
Saya telah bertemu dan bekerja dengan banyak anggota staf PBB: para ahli pendidikan dan ahli statistik, akademisi, ekonom dan berbagai profesional lainnya. Beberapa hanya bisa menyesalkan bagaimana impian membangun ‘Pemerintah Dunia’ hilang begitu saja. Tetapi banyak juga yang masih secara aktif berjuang, seringkali dari belakang layar, dan melanggar berbagai aturan dan peraturan.
Beberapa bahkan berhenti dari pekerjaannya karena tidak mau kompromi.
Saya harus menyebut nama almarhum Michael Hourigan, teman saya pengacara Australia, mantan penyidik PBB untuk genosida dari ICTR, yang berhasil mengidentifikasi siapa orang-orang yang menembak jatuh pesawat yang membawa Presiden Rwanda dan Burundi pada tahun 1994. Dia dipaksa terbang ke Den Haag, dan diperintahkan untuk tutup mulut oleh seorang pejabat tinggi PBB. Hal itu terjadi karena semua bukti menunjuk kepada Presiden Rwanda Paul Kagame dan RPF, tentara Tutsi-nya. Kagame adalah implan Barat yang brutal, yang bertanggung jawab atas jutaan orang yang tewas di Republik Demokratik Kongo yang dijarah oleh mereka.
Penembakan jet ‘Falcon’ kepresidenan itu memicu kekerasan yang epik di tahun 1994, dan kemudian pertumpahan darah antar - suku yang mengerikan.
Michael Hourigan mengundurkan diri karena merasa jijik dengan apa yang diperintahkan padanya, dan kembali ke Adelaide, tempat asalnya di Australia. Dia memberikan berbagai bukti kepada saya ketika saya membuat film dokumenter ‘Rwanda Gambit’.
Cerita horor lain yang diminta untuk diceritakan kepada dunia adalah cerita dari Ms. Masako Yonekawa, mantan pimpinan UNHCR di Goma, sebuah tempat yang mungkin paling compang-camping dan paling diteror di Republik Demokratik Kongo khususnya, dan di Afrika pada umumnya.
Ms. Yonekawa mengundurkan diri dari PBB, dan kemudian bersaksi di depan kamera dalam film dokumenter saya, tentang kebrutalan RPF, tentang dukungan Barat untuk RPF, dan tentang staf PBB, terutama para penjaga perdamaian dari India, yang terlibat dalam penyelundupan bahan baku dari DRC.
Masih banyak individu-individu yang lain yang berhasil mengidentifikasi adanya genosida di Republik Demokratik Kongo (DRC), khususnya para anggota staf PBB yang menulis dan kemudian ‘membocorkan’ laporan-laporan (termasuk ‘Laporan Pemetaan’) tentang keterlibatan baik Rwanda maupun Uganda dalam genosida di Goma dan bagian lain dari DRC.
Dua ahli statistik PBB membantu saya ketika saya sedang menulis buku ‘Indonesia - Archipelago of Fear’ tentang kengerian-kengerian di Indonesia pasca Soeharto.
Tidak semua orang punya keberanian untuk ‘go public’ atau mengundurkan diri. Tapi saya tahu bahwa setiap kali ada hal besar yang dipertaruhkan, maka ada pemikir dan guru, dokter dan pilot, ahli-ahli di PBB, ekonom, pengacara, bahkan beberapa pejabat pemerintah dan tentara, yang siap mengambil risiko kehilangan karir mereka dan mendukung saya, atau orang-orang seperti saya, dan karenanya mereka secara langsung atau tidak langsung menggabungkan diri dengan perjuangan ini.
Akhir-akhir ini saya tidak pernah merasa putus asa atau kehilangan harapan. Berbagai individu besar ada di pihak kita.
Coba lihat mereka yang ada di dalam ‘BRussells Tribunal’! Atau lihat ‘komposisi’ atau daftar mereka yang menulis untuk Counterpunch atau The Greanville Post.
Tentu saja perjalanan dan proses ini bukan tanpa orang-orang yang berkhianat. Selalu saja ada orang yang menempatkan kekhawatiran dan kepentingan mereka yang kecil di atas perjuangan yang besar. Mereka mengkhianati perseorangan, para pejuang, serta mengkhianati konsep secara keseluruhan. Tapi memang tidak ada yang, atau harus, ‘sempurna’.
Suatu hari nanti, mereka yang berkhianat akan berhadapan dengan hati nurani mereka sendiri, itupun kalau mereka punya. Mereka tidak akan bisa berdamai dengan diri mereka sendiri. Sedangkan bagi para pejuang yang jujur, akan selalu ada pengkhianat yang akan menyakiti mereka, tetapi mereka akan bangun, bersiap-siap lagi, dan terus maju berjuang.
***
Sekarang ini terlihat ada harapan besar di mana-mana. Untuk tidak melihatnya, atau tidak merasakannya, perlu punya ‘disiplin ‘ yang hebat.
Rusia bangkit dari keterpurukannya dan berani berhadapan dengan Empire. China melakukan hal yang sama, dalam banyak hal mereka kembali menjadi Sosialis, bahkan dengan cara-cara Komunis. Kedua negara besar tersebut menjadi semakin ‘internasionalis’ di dalam kebijakan luar negeri mereka. Kedua negara itu juga sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya.
Amerika Latin mematahkan belenggu imperialisme Barat dan ‘Doktrin Monroe’ yang rasis. Negara-negara besar seperti Kuba, Venezuela, Ekuador, Bolivia, Nikaragua, Chile, Argentina, Uruguay dan Brasil, menentukan jalan mereka sendiri tetapi tetap mengutamakan solidaritas antara satu dengan yang lain, juga sebagai sebuah blok. Masing-masing negara juga menempa hubungan yang lebih dekat dengan China dan Rusia.
Negara-negara yang telah dikuasai oleh Barat, seperti yang baru-baru ini, Paraguay dan Honduras, terlihat jelas sebagai negara boneka. Tidak ada orang waras yang mau mengikuti apa yang mereka ‘contohkan’.
Afrika, benua yang paling terluka di muka bumi, telah berdiri tegak, setidaknya di dua ujungnya: Afrika Selatan dan Zimbabwe di Selatan, dan Eritrea di Utara.
Betapa pun kompleksnya keadaan di sana, Korea Utara, Vietnam dan Laos masih masuk di kamp pemberontak, dan harus dianggap serius.
Kalau saja India tidak mengkhianati BRICS, kalau saja mereka tidak tergesa-gesa lompat ke pelukan Barat dan Israel yang mengerikan, juga dengan nasionalisme religius dan yang berdasarkan kasta, maka sekarang setidaknya setengah dari planet ini akan berdiri tegas melawan Empire dan keinginannya untuk sepenuhnya mengendalikan dunia.
***
Saya menceritakan semua ini kepada teman-teman dari Kashmir.
Tapi Kashmir sedang berdarah-darah, dari penyiksaan dan pemerkosaan, dari pembunuhan ekstra-yudisial. Di sana, India melakukan latihan bersama baik dengan Amerika Serikat maupun Israel. Mereka belajar bagaimana melakukan pembantaian, mengendalikan dan melakukan penyiksaan, dan seringkali mereka malah lebih pintar dari gurunya.
Para korban dari perilaku kebinatangan Empire dan negara-negara kliennya adalah sekutu kami. Kami tidak akan menyembunyikan fakta-faktanya! Kami tidak akan melakukan manuver. Kami akan berbicara secara terbuka dan dengan jelas. Jika ada ‘perbedaan ideologi’, maka akan kami urus nanti. Tapi pesan kami sekarang ini amat jelas: kami sudah muak dengan penyiksaan, kami sudah muak dengan pemerkosaan, kami sudah muak dengan genosida.
Saya mengatakan kepada mereka, teman-teman saya: “Kashmir tidak sendirian. Kami akan berdiri di belakang Anda, kami akan berjuang dengan Anda, dan jika diperlukan, kami akan mempertaruhkan nyawa untuk Anda!”
Sudah bukan jamannya menjadi pengecut. Sebuah era baru solidaritas telah tiba.
Ketika senjata tentara India diarahkan kepada saya, saya merasa tenang. “Jika sesuatu terjadi pada saya, masih banyak orang lain yang akan menggantikan saya,” demikian pikiran saya. Saya bukan seorang pahlawan, saya tidak percaya pada kepahlawanan, tapi saya juga bukan seorang pengecut. Dan setelah mengetahui apa yang telah terjadi di Kashmir, setiap pori-pori di tubuh saya mendukung para korban.
Di Kashmir, saya merasa bahwa Leningrad dan Beijing, Caracas, Havana, Asmara dan Quito ada di belakang saya. Lagu-lagu perlawanan dari Srinagar adalah lagu-lagu perlawanan orang Rusia, China, Afrika dan Amerika Latin.
Kita semua terhubung. Dan itulah sebabnya saya berdiri di sana, di tengah jalan di Srinagar, menghadapi tentara India – antek-antek dari Empire.
“Eh, dia benar-benar ikut kita!”, teriak salah satu dari anak-anak muda itu, seakan tak percaya.
“Ya!” kata saya sambil menekan tombol kamera. Seperti biasa, tentu saya ingin bertahan hidup. Saya amat ingin tetap hidup! Tapi bukan dengan menghalalkan segala cara! Bukan sebagai budak, bukan sebagai antek.
“Setengah umat manusia di bumi sekarang ada di pihak kami,” pikir saya, ketika bandit-bandit pasukan keamanan India yang dilatih secara terbuka oleh Amerika Serikat dan Israel mulai mengepung kami, menembakkan gas air mata, bukan ke udara tetapi langsung ke kepala orang-orang. “Dan masih banyak lagi yang akan segera bergabung!”
*****
Link esai aslinya:
Kashmir is Bleeding
Half of Humanity Now Forms the ‘Resistance’
http://www.counterpunch.org/2015/01/30/half-of-humanity-now-forms-the-resistance/
*****
Andre Vltchek adalah seorang
novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan
konflik di berbagai negara. Hasil liputannya antara lain buku terbarunya: “Fighting Against Western Imperialism”("Berjuang Melawan Imperialisme
Barat"). Penerbit Pluto menerbitkan diskusinya dengan Noam Chomsky: On Western Terrorism (Tentang Terorisme Barat). Novel
politiknya Point of No Return sudah diedit
kembali dan sekarang sudah tersedia. Oceania adalah bukunya tentang
imperialisme Barat di Pasifik Selatan. Buku provokatif tentang Indonesia
pasca-Suharto dan sebagai model fundamentalis pasar berjudul “Indonesia – The Archipelago of Fear” sudah diterbitkan dalam bahasa
Indonesia “Indonesia
– Untaian ketakutan di nusantara”. Film dokumenternya, "Rwanda
Gambit" bercerita tentang sejarah Rwanda dan penjarahan DR Kongo. Setelah
tinggal selama bertahun-tahun di Amerika Latin dan Oceania, sekarang ini Vltchek
tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah. Dia dapat dihubungi melalui
website-nya atau Twitter-nya.
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya .
Rossie Indira adalah seorang penulis, arsitek dan penerbit. Dia adalah salah satu pendiri penerbit Badak Merah. Bersama Andre Vltchek, dia menulis ‘Exile –Pramoedya Ananta Toer in conversation with Andre Vltchek and Rossie Indira’. Buku terbarunya 'Surat Dari Bude Ocie' adalah tentang perjalanannya ke negara-negara Amerika Latin. Dia adalah Manager Produksi dan Penterjemah untuk 'Terlena - Breaking of a Nation', sebuah film dokumenter berdurasi 90 menit tentang dampak kudeta di tahun 1965 terhadap masyarakat Indonesia. Dia menulis untuk publikasi di dalam dan di luar Indonesia dan dia menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Dia dapat dihubungi melalui website dan twitter-nya .